Translate

Rabu, 24 Oktober 2018

Frekuensi

Frekuensi
ByNana-Riwayat N. L. 
Surabaya, 23 Oktober 2018

Frekuensi.....
Jalanmu cepat
Rambatmu melesat
Desirmu lamat
Tapi, tenagamu kuat

Frekuensi..... 
amdamu meluas
Lempeng tidur kau bangunkan
Kegagahannya kau luluh lantakkan
Velocity kau ambang gesitkan
Hingga derap udara tak terbaca sekala
Mengangkasakan gemerlap tenangnya tirta

Frekuensi.....
Marahmu mengerikan
Sakit hatimu membinasakan
Saat mereka mengabaikanmu
Cemburu buta melahap cintamu

Kebencianmu....
Cukup satu getaran
Mengespresikan ketidak ikhlasan
Melihat mereka mengurangkan kain diraga
Menyaksikan mereka berpeluk mesra
Padahal belum diikat pernikahan

Frekuensi.....
Dengan segenap kasih-Nya
Kau datang hanya sebatas menyapa
Kau datang membawa cinta-Nya
Kau datang memelukku
Mengajakku kembali

Frekuensi......

Jumat, 19 Oktober 2018

Aku dan Panji Merah Putihku

Aku dan Panji Merah Putihku (by me at Surabaya, 20 Oktober 2018) Sore itu fana merah jambu begitu senyap. Rona merah masamnya nampak begitu jelas. Guratannya tegas menunjukkan betapa letih tubuhnya terkuras selama bekerja seharian. Camar yang menari riang pun melambai-lambaikan tangan hendak berpamitan menuju singgasana peristirahatan. Sepoi angin sore di tepian pantai membelai lembut wajah hitam tajamku yang menunjukkan betapa akrabnya aku dengan sang fana merah jambu di sepanjang waktuku. Pakaian lorengku menyamarkanku sewaktu aku mendekat diantara dedaunan hutan lebat yang kusisiri setapak demi setapak. Tanker itupun akhirnya mencapai garis pembatas dua wilayah hakiki yang tidak mungkin bisa dianggap sama. Sorot mataku ceria namun tak sedikitpun semangat tergoyahkan. Sudah menjadi jiwaku, semangat hakiki adalah modal utama untuk memulai setiap tapakan kaki yang semakin panjang seiring dengan berjalannya jarum yang berputar. Fana merah jambu yang menemaniku berjalan menyusuri segelombang lautan itu kini sudah tidak terlihat. Ia menyembunyikan diri diatas pembaringan berselimutkan awan hitam tebal yang meneduhkan. Diujung keberanjakannya sang bintang pun turut mengiringi kepergiannya. Tak lama sang fana merah jambu meninggalkan kami, sang penyampai nur yang indah dan meneduhkan pun menghampiri kami seraya mengucapkan halo kita berjumpa kembali. Deburan ombak di pantai memecah keheningan sepanjang laut yang sunyi. Sambutan indahnya bak irama drum pelantikan yang begitu bersemangat seperti TNI yang dilantik usai menyelesaikan pendidikan kemiliterannya. Senyum indah diwajahku merekah. Kuraih ransel besar yang bersandar di ujung bangku kabin. Langkah kakiku pelan namun pasti. Kakiku menapak. Dinginnya udara pantai di pulau kelahiranku itu menyeruak menyambut dan memelukku erat. Kami berbaris menuju markas untuk mengabsenkan diri bahwa kami telah kembali dengan selamat usai misi penyelamatan. Lengkap. Tidak satu pun tertinggal atau menyudahi perjalanannya untuk berjuang bersama lagi di esok hari. Lambaian tangan yang hangat dari sang perwira sembari menyunggingkan senyum ramahnya menatapku. Jantungku berdebar hebat. Menyaksikan kebahagiaan dalam sapaan bangganya membuatku teramat bahagia. “Selamat.”, ucapnya. “Siap, terimakasih.”, sahutku seraya memberinya salam hormat formal sebagaimana adat kami. Jendral tidak menjawab atau memberi isyarat apapun sebagai jawaban. Aku bangun dari sikap hormatku. Betapa terkejutnya aku. Beliau berdiri dihadapanku dan segera memelukku. “Aku percayakan amanah setelahku ini padamu. Aku yakin kau mampu menjadi seorang jendral yang hebat dan disukai seluruh bawahanmu sebab kasih tulusmu.”, kata-kata beliau yang sangat mengiris-iris hatiku dan menghancurkan kebahagianku yang kurasakan beberapa detik yang lalu. Pelukan usai. Kami bergegas menuju ruang administrasi, mengurus hari cuti dan bergegas membereskan barang yang seharusnya kubawa pulang menuju kampung halaman. Sejengkal lagi kakiku menapak di halte bus malam yang masih nampak selalu dipadati puluhan kaki. Aku sudah tidak sabar ingin berlari mengetuk kabut hitam bergagang di depan kaputren ratuku, sang lentera yang selalu menyinarkan cahaya terangnya ke dalam kalbuku. Aku juga sudah tidak sabar menemui dua permata indah yang ada berkilat kilau membiaskan cahaya gemerlap di mataku. Dinginnya udara malam semakin memelukku erat-erat. Bus yang kutunggu-tunggu pun akhirnya menyapaku dan mengajakku meluncur ke kerajaan sang lentera kasihku. Suasana malam yang amat terang sangat mendukung suasana hatiku yang bersinar dan penuh gemerlap cahaya yang berbinar bagaikakn bintang dilangit malam ini yang nampak kegirangan bersama bulan yang tersenyum ramah. Hijauan yang bertengger tegap di sepanjang jalan yang kususuri itu nampak menari sebagai tanda ia juga bahagia mengetahui aku yang sangat bahagia. Tiga jam berlalu sedemikian lama hingga akhirnya kondektur bus itu menyebut sebuah kota yang sangat dekat dengan jiwaku. Mataku yang sempat mengatuk mendadak hilang seketika. Aku sangat bahagia. Jantungku berdetak lebih kencang bahkan lebih kencang dari sewaktu aku mendapatkan pelukan pertama dari jendralku yang sangat bijaksana itu. Ranselku bertengger sempurna di pundakku. Kakiku menapak halaman istana yang nampak sangat megah. Keindahannya masih seperti dulu, namun kali ini nampak lebih asri dan berseri. Kulihat melalui celah jendela, masih kudapati cahaya terang yang menandakan bahwa lentera kasih dan kedua permata indahku masih berada disana. Langkahku cepat. Tak hanya cepat, sangat cepat bahkan berlari. Kusiapkan diriku, mengatur napasku, merapikan rambutku sambil berkaca di balik jendela. Jujur saja, meski aku sudah memiliki lentera bercaya dan dua permata indah itu sepenuhnya, kisah yang ku ukir bersamanya dengan sebuah pengorbanan jarak ini selalu membuatku jatuh cinta yang sama kadarnya seperti ketika ku pertama menemukan lentera bercahaya indah itu. Kutarik napas dalam. Tenang. Kukuatkan diriku mangangkat tangan, mengetuk pintu istana. “Iya, siapa?”, sapa lembut lentera kasihku dari balik pintu. Aku hanya diam. Berharap ia membuka dan kedatanganku yang tanpa aku kabarkan menjadi kejutan indah untuknya dan juga untuk dua permata penerusku. Maklum saja, di waktu malam seperti ini aku tidak mungkin bisa membawakan mereka hadiah istimewa, kecuali gorengan lima ratus rupiahan per bijinya. Itupun sudah tidak hangat. Aku membelinya tak jauh dari markas besar kami. Sepertinya lentera kasihku memiliki daya kewaspadaan dan analisis yang tinggi. Aku tahu dia mengntip siapa malam-malam begini yang mengetuk pintu. Aku sengaja pura-pura tidak melihatnya. Sepertinya aku nampak aneh. Lenteraku tak membukakan pintu. Ia malah bertanya, “Siapakah anda? Ada perlu apa?”. “Lentera kalbuku, tolong bukalah pintu kerajaanmu.”, jawabku memberinya teka-teki yang tak lain gombalanku ketika aku memujinya. Sepertinya lenteraku sangat mengingat hal kecil dan konyol yang dulu pernah kulakukan padanya sebelum dua permata indahku hadir.sung saja ia membuka pintu itu. sungguh diluar dugaanku. Kedatanganku langsung diberinya pelukan hangat yang sangat kurindukan diwaktu malam-malam saat aku masih di persembunyian medan perang. Tak hanya lentera, tapi kedua permataku pun segera menyerbu kedatanganku. “Maaf, aku tak ...”. “Yuk kita makan dulu, aku baru selesai menyiapkan makan malam.”, belum sempat kuselesaikan kata-kataku, lentera kasihku memangkas. Ia menarik tas ranselku dan kresek plastik berisi gorengan dariku. Permata indahku menrikku masuk. Makan malamku yang istimewa bersama lentera jiwaku dan dua permata yang bersinar dengan gemerlap sempurna. Waktu kami habiskan dengan bermain musik yang sudah sangat lama kurindukan bermain dengannya. Tak lama, namun sangat membahagiakan. Istirahat pun tiba. Ku bantu lentera jiwaku itu mengantarkan dua permata itu menuju singgasana peristirahatan. Aku berdiri di dekatnya. Jujur saja, aku memandanginya masih dengan kekaguman yang sama seperti pertama aku mendapatkannya. Dia masih bersinar terang. Kharismanya sangat menghangatkanku. Tak kusadari mata tajam yang sangat meneduhkan dari lenteraku itu memanah mataku dengan pelik. Rona merah diwajahku mungkin dibacanya. Aku segera menyadarkan diri. Aku sudah punya dua permata bercahaya, maka aku harus bersikap bijak selayaknya seorang pahlawan. Subuh tiba. Kukira lenteraku masih manja seperti dulu. Namun, tebakanku ternyata melesat jauh. Lenteraku kini sangat rajin. Diujung pagi ia sudah menyiapkan sarapan pagi. Usai sembahyang aku mandi karena rencana kami untuk pergi mengunjungi sebuah tempat yang sangat menjadi perioritas yang selalu kami utamakan, pusara ibu. Aku bersa lentera jiwaku dan dua permata bercahayaku menyusuri jalanan yang dulu sempat menjadi saksi bisuku mengejar cinta lentera kasihku. Aku tersenyum mengingatnya. Aku bahagia juga bangga, karena akulah yang kini memenangkan persaingan itu. belum sempat usai aku mengunjungi pusara ibu, HP itu berdering. Telpon dari sang jendral yang barusan memelukku dan mengucapkan selamat akan keberhasilanku kembali ke tanah air bersama seluruh anggota. Panggilan mendadak. Ya, sudah dipastikan aku harus segera kembali kemarkas meski sejujurnya aku masih ingin berlama-lama dengan lentera jiwaku yang sangat berarti dalam sejarah kehidupanku. Kami bergegas pulang. Aku pun segera berpamitan dan pergi meninggalkan istana yang sangat megah bagiku itu. Kudapati sirat keanehan di dalam mata lentera kasihku. Kesedihan yang begitu dalam nampak dimatanya. Aku tak biasa mendapatinya demikian. Dua permataku nampak sangat ceria. Aku berjalan. Berat. Meninggalkan rumah cintaku yang bahagia. Sampai di markas, aku ditugaskan terbang. Tugas yang sama sekali bukan keahlianku. Memadamkan kebakaran hutan di sebuah wilayah yang menjadi salah satu tempat yang selalu kami pantau. Jantungku tidak karuan. Aku tidak yakin bisa menjalankan dengan baik, tapi aku harus tanggung jawab sebagai pembela ibu pertiwiku. Demi lentera jiwaku dan demi dua permata indah bercahayaku. Dua kali terbang, aku berhasil menjalaninya dengan baik. Di penerbangan ketiga ini, entah ada apa. Jantungku mendadak berdetak kencang. Tannganku berkeringat dingin. Aku terbangkan pesawatku menebarkan air hujan buatan keatas jago merah yang panas itu. mataku kabur, tak melihat dengan jelas apa yang ada dihadapanku. Aku tak melihat apapun kecuali raut muka indah dari lentera cinta jiwaku dan sinar indah dari dua permata malaikatku. Pesawatku hilang kendali.