Translate

Kamis, 23 Desember 2021

Lab

Lab

Lab. Tempat yang serasa menjadi tempat tinggal keduaku disaat aku menyelesaikan mata kuliah terakhir di program studi yang aku ambil saat ini. bagaimana tidak, aku selalu berada disana sejak pukul enam pagi hnigga paling tidak jam delapan malam. Terkadang bahkan aku harus menginap untuk menyelesaikan apa yang aku kerjakan di lab tersebut.
Takut?

Apakah kau kira aku tidak takut? Jika itu perkiraanmu, maka kau amat sangat salah besar. Aku takut harus berada di lab, sendirian, apalagi maalam hari yang sunyi dan sepi, seorang diri di lab. Selain itu, kau tahu kan kalau bangunan lama itu pasti yang menghuni bukan hanya dari golongan manusia? Ya. Itu kampusku. Sedikit membuat bulu kuduk berdiri sih. Namun, apa boleh buat? Aku harus memberanikan diri.

Hari pertama aku mengawali kegiatan lab ku, aku sudah memulainya langsung sampai malam, tepatnya jam delapan malam. Saat itu kampus sangat sepi, bahkan dari pagi tidak ada teman-teman mahasiswa yang di kampus. memang sih kampus masih daring karena pandemi, namun biasanya ada beberapa teman mahasiswa yang melaksanakan kuliah online di kampus karena wifi yang tersedia gratis untuk mahasiswa di kampus. Namun, di hari pertamaku di lab ini benar-benar tidak ada satu pun mahasiswa lain yang berada di kampus.

Selama siang hari, semua berjalan baik-baik saja. Setelah maghrib berlalu, aku sedikit merasakan keanehan. Yakni terdengar suara seperti adanya benda-benda bergerak diatas ruang lab yang aku gunakan. Aku mencoba tidak menggubrisnya. Akan tetapi suara itu tidak berhenti. Selang beberapa waktu suara itu pasti terdengar lagi dan lagi. Berbekal dari kajian yang aku ikuti di youtube, aku membangun kepercayaan pada diriku sendiri bahwasannya imanku lurus dan itu akan menyelamatkanku dari gangguan-gangguan itu. Ya, sebagaimana yang disampaikan dalam kajian itu bahwasannya jika imanmu kepada allah itu benar dan lurus, maka tidak akan ada jin yang berani mengganggu. Akhirnya setelah isya' berlalu, suara-suara itu menghilang. Lega sekali rasanya.

Di hari berikutnya, aku mendapati lagi suara-suara yang sama. Namun aku segera melakukan sesuatu untuk mengalihkan fokusku. Aku menelepon beberapa temanku dan ngobrol via telepon selama beberapa jam sampai aku pulang. Hari berikutnya aku mencoba untuk biasa saja dengan akrab dengan kejadian tersebut. Anehnya, tidak ada lagi gangguan-gangguan suara tersebut sehingga aku mulai nge lab dengan tenang.

Tips dariku:
Kalau nge lab di lab yang memang di rumorkan atau diceritakan memiliki penghuni dari dimensi lain, jika mereka say hello pada kita, kitanya ga usah takut. Kalau kita takut mereka akan semakin menjadi-jadi dalam menghantui kita. Kita cukup tahu dan sadar kalau mereka memang ada dan kita tidak takut, tidak terganggu atau semacamnya. Cukup Allah semata yang kita takuti.

Salam semangat mahasiswa akhir.!


Senin, 20 Desember 2021

Proposal Skripsi

Proposal Skripsi

“Pengumuman! Bagi mahasiswa yang sudah mengambil proposal skripsi, nilai proskrip sudah masuk. Silakan di cek.”, begitulah bunyi sebuah tulisan di layar HP-ku yang dilewatkan melalui grup angkatan.

Penasaran dengan nilai hasil proposal skripsi yang kukerjakan dengan terpaksa, aku segera membuka web kampus dan menuju akunku. Jreng! Huruf E terpampang nyata di nilai proposal skripsiku. Seketika aku lemas sekali. Air mataku mengalir begitu saja tanpa aku sadari.

Bagaimana perasaanku? Jelas sekali, kalut. aku tidak lagi berpikir kalau aku mau menyelesaikan kuliah ini. Bagaimana tidak? Teman-teman angkatanku sudah siding skripsi. Sedangkan aku tertinggal satu semester dengan mereka. aku merasa mungkin aku tidak usah menyelesaikan. Aku ingin sekali berhenti disini, semester delapan tanpa membawa ijazah. Aku ingin sekali menyerah menyelesaikan kuliah. Aku tidak mau lagi mengambil proposal skripsi di semester Sembilan. Aku tidak mau mengulangnya lagi.

Aku segera menyusul orang tuaku yang ada di kebun. Menceritakan bahwa nilai proposal skripsiku E atau setara dengan nol. Itu artinya aku belum lulus mata kuliah tersebut dan harus mengulanginya lagi. Aku berucap pada orang tuaku bahwa aku tidak mau mengulanginya lagi. Aku ingin berhenti tanpa keterangan hingga nanti membiarkan di-DO.

Ibuku tidak memberikan respon pelarangan ataupun persetujuan. Beliau hanya memberikan kata “terserah” yang aku tidak begitu paham apa yang beliau maksudkan. Ayahku memberikan respon yang sangat membuatku ingin berteriak, menangis dan lari marathon sejauh-jauhnya. Beliau yang ngotot memberikan respon berbeda dari apa yang aku mau. Ayah memaksaku untuk menyelesaikan kuliahku dengan ending membawa ijazah. Ayahku sangat menginginkan dokumen satu lembar yang tidak kuanggap penting itu untuk kudapatkan. Ayahku tidak peduli aku menyukai dokumen itu atau tidak. Tidak peduli akum au menggunakan dokumen itu atau tidak.

Sore pun tiba. Kami segera meninggalkan kebun kesayangan yang menjadi tempat layaknya berlibur buat kami. Usai maghrib, aku mencoba memberanikan diri mengontak pembimbingku. Menanyakan nilaiku yang E yang mana setelah ku cek histori penilaiannya semua nol. Ternyata nilaiku memang belum dimasukkan ke sistem.

PLOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

Diri ini serasa ingin terbang bebas ke angkasa merayakan sebuah keajaiban yang kudapat. Rasanya aku sangat lega dan bersyukur. Akhirnya aku tidak perlu mengulangi lagi mata kuliah proposal skripsi. Semester Sembilan nanti aku sudah bisa mengerjakan skripsi. Aku bisa fokus pada satu mata kuliah itu.

Hey, kau tahu apa yang sebaiknya kita lakukan dalam hidup ini?

Pertama, biasakan cek, tabayyun, konfirmasi, atau apapun itu namanya terhadap sesuatu yang engaku dapati. Kedua, selesaikan apa yang sudah kamu mulai sampai tahap akhir. Selambat apapun. setertinggal apapun dari orang lain/kawan seperjuanganmu. Ingatlah, hidup ini bukan sekedar untuk berlomba dengan orang lain, tapi menjalani kehidupan dan alur kita sendiri dengan baik.

SEMANGAT UNTUK PEJUANG SEMSTER AKHIR YA…. J

Kamis, 16 Desember 2021

Pulang

 Pulang?

Pulang. Sebuah kata yang bagiku amat tidak aku suka. Kamu tahu kenapa? Karena aku merasa tidak punya tempat pulang. Aku merasa tidak memiliki keluarga. Bukan karena aku yatim piatu, tapi karena memang rumah rasanya bukanlah tempat pulang bagiku. Semua itu bukan karena aku berbuat kesalahan fatal lalu diusir dari rumah. Melainkan aku yang merasakan rumah adalah neraka.

Sore itu, 27 November 2021, HP-ku berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk. Itu dari orang yang termasuk aku perioritaskan, kakak pertamaku.

“An, mantuk disik ya. Iki Mamad yo arep mantuk. Sok ben iso ketemu ndek omah.”, begitulah tulisann singkat yang aku baca di layar HP kecilku.

Deg. Hati ini rasanya ngga karuan. Ada sedikit rasa bahagia karena akkhirnya bisa pulang meninggalkan lab sejenak. Ada rasa bahagia bisa bertemu dengan orang-orang yang teramat istimewa bagiku. Namun, disisi lain, aku merasa tidak sanggup untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang, sementara keinginan jiwaku adalah kabur dari rumah. Kabur dari tempat yang terasa seperti neraka bagiku.

Malam itu seketika terasa seperti malam kiamat bagiku. Terasa gelap. Kalut. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Entah aku tertidur jam berapa, tiba-tiba adzhan subuh sudah berkumandang. Aku segera bangkit dan melaksanakan kewajibanku itu. Hari ini aku kembali ke lab untuk sekedar menenangkan diri. Hingga malam kembali tiba, jiwaku masih tidak tenang.

Ya, bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku bisa santai? Jika kata pulang membuatku kembali terseret dalam luka lamaku.

Ya, trauma. Aku sangat trauma dengan rumah itu. Pulang adalah hal yang sangat aku ingin hindari. Bagaimana aku tidak trauma jika dari kecil aku sudah diancam untuk di bunuh oleh orang yang seharusnya memberikan rasa aman untukku? Aku sangat trauma dengan ancaman pembunuhan itu, trauma dengan teriakan, trauma dengan bentakan dan lain-lain.

 

Surabaya, 27 November 2021

Minggu, 12 Desember 2021

Hadirku Tidak Menggenapkan, Pergiku Tidak Mengganjilkan

 Pacitan, 13 Desember 2021

 

Hei……. Apa kabar?

Jika itu pertanyaanmu untukku, aku akan menjawabnya dengan sebuah jawaban bahwa hatiku sedang tidak baik-baik saja.

Aku kira kamu pasti tahulah apa penyebabnya. Ya, anak kecil ini hari ini sudah mengenal istilah asing yang selama ini tidak pernah disadarinya. Cinta. Suka pada lawan jenis. Istilah asing yang setelah 22 tahun hidup bari ia sadari keberadaannya. Baru ia akui keberadaannya.

Ya, dulu mungkin aku juga pernah mengalami rasa tertarik sama lawan jenis. Tapi aku tidak pernah mau mengakui dan aku selalu menyangkalnya. Aku tidak pernah mau mendengarkan, menerima apalagi membenarkan bahwa aku suka dengan seseorang. Aku adalah anak kecil yang paling gengsi untuk mengakui perasaan itu. Bagiku, hal semacam itu adalah aib, keburukan, hal yang salah hal yang tidak patut, dan lain sebagainya.

Hari ini aku sangat berbeda. Kuliah membuatku berani mengakui keberadaan perasaan itu. Aku mulai menerima bahwa aku menyukai seseorang. Bahkan aku tidak segan untuk menyatakan perasaanku pada orang yang aku sukai. Ya, aku salah satu cewek yang tidak mau menunggu cowok untuk mengejarku. Aku salah satu cewek yang tidak gengsi dan tidak malu untuk mengejar cowok. Entah kenapa, sejak kecil aku selalu berpikiran berbeda dengan cewek-cewek mayoritas. Ketika teman-temanku lebih memilih menunggu seorang laki-laki datang kepadanya, aku lebih senang mencari dan datang lebih dulu kepada si laki-laki. Meskipun begitu aku juga tidak mempermasalahkan jika ada laki-laki yang datang lebih dulu kepadaku.

Hari itu, aku sempat menyatakan perasaanku pada seseorang. Entah karena apa, aku menyukai orang itu sejak pertama kali bertemu karena merasa sudah sangat akrab dan sangat mengenalnya meski sebelumnya tidak pernah kenal. Aku menyatakan perasaanku karena aku merasa sudah cukup ama aku menyukainya. Aku ingin dia tahu aku menaruh perasaan padanya. Namun, ternyata aku bertepuk sebelah tangan. Hanya aku saja yang memiliki perasaan itu, sementara dia tidak. Saat itu aku belum juga menyerah. Aku masih terus mengejarnya.

Hingga hari ini, 13 Desember 2021, tepat tiga tahun aku mengejarnya setelah ia menolakku untuk pertama kalinya dulu, aku menyatakan perasaanku kembaali. Lagi-lagi, respon yang dia berikan sama saja. aku masih tidak diterimanya.

Kecewa? Iya. Patah hati? Pasti.

Tapi hari ini ada sesuatu yang aku sadari. Aku tersadar bahwa diriku terlalu jauh berangan-angan. Terlalu GE-ER. Terlalu tertipudaya oleh perasaanku sampai aku lupa pada sebuah fakta. Aku melupakan bahwa dia tidak ingin berinteraksi denganku yang ditandai dengan jarangnya ia bertegur sapa, bercakap-cakap dan sebagainya saat kami masih bersama di tempat yang sama. Dia juga memblokir media sosialku dan tidak men-save nomorku, padahal sebaliknya ke yang lainnya. Dia tidak mau akrab denganku dan tidak mau dekat denganku, bahkan untuk sekedar foto saja dia tidak mau dekat denganku, padahal dengan yang lainnya tidak demikian.

Bukankah semua itu sudah jelas-jelas sangat menunjukkan kalau dia benar-benar tidak menginginkanku, bahkan sebatas sebagai teman pun tidak menginginkan? Bukankah perasaanku hanya bagaikan pungguk merindukan bulan? Bukankah hadirku tidak menggenapkannya dan pergikupun tidak mengganjilkannya? Lalu untuk apa lagi aku ada disini?

Ya. Pergi! Itu yang aku putuskan. Membiarkan waktu yang akan membantuku menyembuhkan luka. Bukan aku tidak lagi ada perasaan untuknya. Bukan karena aku merasa tidak ada harapan darinya. Bukan karena ada orang lain yang lebih menarik darinya. Tapi aku cukup bijak saja. Hatiku, perasaanku dan diriku bukanlah sesuatu yang layak untuk terus disakiti dan tidak dihargai.

Kurasa kali ini aku tidak salah mengambil keputusan. Bagaimana kalau kamu yang diposisiku? Apakah kau akan mengambil hal yang sama denganku? Ya. Bukankah seharusnya demikian?