Translate
Kamis, 23 Desember 2021
Lab
Senin, 20 Desember 2021
Proposal Skripsi
Proposal Skripsi
“Pengumuman! Bagi mahasiswa yang sudah
mengambil proposal skripsi, nilai proskrip sudah masuk. Silakan di cek.”,
begitulah bunyi sebuah tulisan di layar HP-ku yang dilewatkan melalui grup
angkatan.
Penasaran dengan nilai hasil proposal
skripsi yang kukerjakan dengan terpaksa, aku segera membuka web kampus dan
menuju akunku. Jreng! Huruf E terpampang nyata di nilai proposal skripsiku.
Seketika aku lemas sekali. Air mataku mengalir begitu saja tanpa aku sadari.
Bagaimana perasaanku? Jelas sekali, kalut.
aku tidak lagi berpikir kalau aku mau menyelesaikan kuliah ini. Bagaimana
tidak? Teman-teman angkatanku sudah siding skripsi. Sedangkan aku tertinggal
satu semester dengan mereka. aku merasa mungkin aku tidak usah menyelesaikan. Aku
ingin sekali berhenti disini, semester delapan tanpa membawa ijazah. Aku ingin
sekali menyerah menyelesaikan kuliah. Aku tidak mau lagi mengambil proposal
skripsi di semester Sembilan. Aku tidak mau mengulangnya lagi.
Aku segera menyusul orang tuaku yang ada
di kebun. Menceritakan bahwa nilai proposal skripsiku E atau setara dengan nol.
Itu artinya aku belum lulus mata kuliah tersebut dan harus mengulanginya lagi.
Aku berucap pada orang tuaku bahwa aku tidak mau mengulanginya lagi. Aku ingin
berhenti tanpa keterangan hingga nanti membiarkan di-DO.
Ibuku tidak memberikan respon pelarangan
ataupun persetujuan. Beliau hanya memberikan kata “terserah” yang aku tidak
begitu paham apa yang beliau maksudkan. Ayahku memberikan respon yang sangat
membuatku ingin berteriak, menangis dan lari marathon sejauh-jauhnya. Beliau yang
ngotot memberikan respon berbeda dari apa yang aku mau. Ayah memaksaku untuk
menyelesaikan kuliahku dengan ending membawa ijazah. Ayahku sangat menginginkan
dokumen satu lembar yang tidak kuanggap penting itu untuk kudapatkan. Ayahku tidak
peduli aku menyukai dokumen itu atau tidak. Tidak peduli akum au menggunakan
dokumen itu atau tidak.
Sore pun tiba. Kami segera meninggalkan
kebun kesayangan yang menjadi tempat layaknya berlibur buat kami. Usai maghrib,
aku mencoba memberanikan diri mengontak pembimbingku. Menanyakan nilaiku yang E
yang mana setelah ku cek histori penilaiannya semua nol. Ternyata nilaiku
memang belum dimasukkan ke sistem.
PLOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOONGGGGGGGGGGGG!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!
Diri ini serasa ingin terbang bebas ke
angkasa merayakan sebuah keajaiban yang kudapat. Rasanya aku sangat lega dan
bersyukur. Akhirnya aku tidak perlu mengulangi lagi mata kuliah proposal
skripsi. Semester Sembilan nanti aku sudah bisa mengerjakan skripsi. Aku bisa
fokus pada satu mata kuliah itu.
Hey, kau tahu apa yang sebaiknya kita
lakukan dalam hidup ini?
Pertama, biasakan cek, tabayyun,
konfirmasi, atau apapun itu namanya terhadap sesuatu yang engaku dapati. Kedua,
selesaikan apa yang sudah kamu mulai sampai tahap akhir. Selambat apapun.
setertinggal apapun dari orang lain/kawan seperjuanganmu. Ingatlah, hidup ini
bukan sekedar untuk berlomba dengan orang lain, tapi menjalani kehidupan dan
alur kita sendiri dengan baik.
SEMANGAT UNTUK PEJUANG SEMSTER AKHIR YA…. J
Kamis, 16 Desember 2021
Pulang
Pulang?
Pulang.
Sebuah kata yang bagiku amat tidak aku suka. Kamu tahu kenapa? Karena aku
merasa tidak punya tempat pulang. Aku merasa tidak memiliki keluarga. Bukan
karena aku yatim piatu, tapi karena memang rumah rasanya bukanlah tempat pulang
bagiku. Semua itu bukan karena aku berbuat kesalahan fatal lalu diusir dari
rumah. Melainkan aku yang merasakan rumah adalah neraka.
Sore
itu, 27 November 2021, HP-ku berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk. Itu
dari orang yang termasuk aku perioritaskan, kakak pertamaku.
“An,
mantuk disik ya. Iki Mamad yo arep mantuk. Sok ben iso ketemu ndek omah.”,
begitulah tulisann singkat yang aku baca di layar HP kecilku.
Deg.
Hati ini rasanya ngga karuan. Ada sedikit rasa bahagia karena akkhirnya bisa
pulang meninggalkan lab sejenak. Ada rasa bahagia bisa bertemu dengan
orang-orang yang teramat istimewa bagiku. Namun, disisi lain, aku merasa tidak
sanggup untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang, sementara keinginan jiwaku
adalah kabur dari rumah. Kabur dari tempat yang terasa seperti neraka bagiku.
Malam
itu seketika terasa seperti malam kiamat bagiku. Terasa gelap. Kalut. Aku tidak
tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Entah aku tertidur jam berapa, tiba-tiba
adzhan subuh sudah berkumandang. Aku segera bangkit dan melaksanakan
kewajibanku itu. Hari ini aku kembali ke lab untuk sekedar menenangkan diri.
Hingga malam kembali tiba, jiwaku masih tidak tenang.
Ya,
bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku bisa santai? Jika kata pulang membuatku
kembali terseret dalam luka lamaku.
Ya,
trauma. Aku sangat trauma dengan rumah itu. Pulang adalah hal yang sangat aku
ingin hindari. Bagaimana aku tidak trauma jika dari kecil aku sudah diancam
untuk di bunuh oleh orang yang seharusnya memberikan rasa aman untukku? Aku sangat
trauma dengan ancaman pembunuhan itu, trauma dengan teriakan, trauma dengan
bentakan dan lain-lain.
Surabaya, 27 November 2021
Minggu, 12 Desember 2021
Hadirku Tidak Menggenapkan, Pergiku Tidak Mengganjilkan
Pacitan, 13 Desember 2021
Hei……. Apa kabar?
Jika itu pertanyaanmu untukku, aku akan menjawabnya dengan
sebuah jawaban bahwa hatiku sedang tidak baik-baik saja.
Aku kira kamu pasti tahulah apa penyebabnya. Ya, anak kecil
ini hari ini sudah mengenal istilah asing yang selama ini tidak pernah
disadarinya. Cinta. Suka pada lawan jenis. Istilah asing yang setelah 22 tahun
hidup bari ia sadari keberadaannya. Baru ia akui keberadaannya.
Ya, dulu mungkin aku juga pernah mengalami rasa tertarik
sama lawan jenis. Tapi aku tidak pernah mau mengakui dan aku selalu
menyangkalnya. Aku tidak pernah mau mendengarkan, menerima apalagi membenarkan
bahwa aku suka dengan seseorang. Aku adalah anak kecil yang paling gengsi untuk
mengakui perasaan itu. Bagiku, hal semacam itu adalah aib, keburukan, hal yang
salah hal yang tidak patut, dan lain sebagainya.
Hari ini aku sangat berbeda. Kuliah membuatku berani
mengakui keberadaan perasaan itu. Aku mulai menerima bahwa aku menyukai
seseorang. Bahkan aku tidak segan untuk menyatakan perasaanku pada orang yang
aku sukai. Ya, aku salah satu cewek yang tidak mau menunggu cowok untuk
mengejarku. Aku salah satu cewek yang tidak gengsi dan tidak malu untuk
mengejar cowok. Entah kenapa, sejak kecil aku selalu berpikiran berbeda dengan
cewek-cewek mayoritas. Ketika teman-temanku lebih memilih menunggu seorang
laki-laki datang kepadanya, aku lebih senang mencari dan datang lebih dulu
kepada si laki-laki. Meskipun begitu aku juga tidak mempermasalahkan jika ada
laki-laki yang datang lebih dulu kepadaku.
Hari itu, aku sempat menyatakan perasaanku pada seseorang. Entah
karena apa, aku menyukai orang itu sejak pertama kali bertemu karena merasa
sudah sangat akrab dan sangat mengenalnya meski sebelumnya tidak pernah kenal. Aku
menyatakan perasaanku karena aku merasa sudah cukup ama aku menyukainya. Aku ingin
dia tahu aku menaruh perasaan padanya. Namun, ternyata aku bertepuk sebelah
tangan. Hanya aku saja yang memiliki perasaan itu, sementara dia tidak. Saat itu
aku belum juga menyerah. Aku masih terus mengejarnya.
Hingga hari ini, 13 Desember 2021, tepat tiga tahun aku
mengejarnya setelah ia menolakku untuk pertama kalinya dulu, aku menyatakan
perasaanku kembaali. Lagi-lagi, respon yang dia berikan sama saja. aku masih
tidak diterimanya.
Kecewa? Iya. Patah hati? Pasti.
Tapi hari ini ada sesuatu yang aku sadari. Aku tersadar
bahwa diriku terlalu jauh berangan-angan. Terlalu GE-ER. Terlalu tertipudaya
oleh perasaanku sampai aku lupa pada sebuah fakta. Aku melupakan bahwa dia
tidak ingin berinteraksi denganku yang ditandai dengan jarangnya ia bertegur
sapa, bercakap-cakap dan sebagainya saat kami masih bersama di tempat yang
sama. Dia juga memblokir media sosialku dan tidak men-save nomorku, padahal
sebaliknya ke yang lainnya. Dia tidak mau akrab denganku dan tidak mau dekat
denganku, bahkan untuk sekedar foto saja dia tidak mau dekat denganku, padahal
dengan yang lainnya tidak demikian.
Bukankah semua itu sudah jelas-jelas sangat menunjukkan
kalau dia benar-benar tidak menginginkanku, bahkan sebatas sebagai teman pun
tidak menginginkan? Bukankah perasaanku hanya bagaikan pungguk merindukan
bulan? Bukankah hadirku tidak menggenapkannya dan pergikupun tidak
mengganjilkannya? Lalu untuk apa lagi aku ada disini?
Ya. Pergi! Itu yang aku putuskan. Membiarkan waktu yang akan membantuku menyembuhkan luka. Bukan aku tidak lagi ada perasaan untuknya. Bukan karena aku merasa tidak ada harapan darinya. Bukan karena ada orang lain yang lebih menarik darinya. Tapi aku cukup bijak saja. Hatiku, perasaanku dan diriku bukanlah sesuatu yang layak untuk terus disakiti dan tidak dihargai.
Kurasa kali ini aku tidak salah mengambil keputusan.
Bagaimana kalau kamu yang diposisiku? Apakah kau akan mengambil hal yang sama
denganku? Ya. Bukankah seharusnya demikian?