Yaweslah
(dalam Bahasa Indonesia berarti "yasudahlah")
Surabaya, Juni 2022
***
"Yaweslah. Satu kata yang berhasil
membuatku menjadi sembuh total. Ngakak engga? Bagaimana tidak? Sekian tahun,
sejak 2018 silam, aku menjalani treatment kesembuhan mental. Ah, lebai amat
bilang treatment kesembuhan mental. Dari pada menyebut itu, mending sebut saja
proses menyembuhkan hati yang terluka. Ceileh, patah hati banget ya
kayaknya. Hahahahahhahahaha........", batin Riri.
***
Yaweslah adalah kesimpulan akhir dari
seorang Riri yang berhasil bertahan hidup dan berhasil melewati masa sakit
mentalnya - depresi. Tidak hanya itu, kata itu juga berhasil mengantarkannya
menuju perbaikan diri yang jauh lebih baik dan lebih uar biasa. Bagaimana itu
bisa terjadi?
***
Riri adalah anak kecil yang hidup dalam
didikan orang tua yang masuk dalam golongan otoriter. Keras adalah kata yang
mungkin bisa cukup mewakili bagaimana Riri dididik oleh orang tuanya, terutama
sang ayah yang memang paling terkenal otoriter lagi didikan tentara masa old yang
super tegas, disiplin & tidak ragu-ragu jika menjatuhkan hukuman.
Otoriteritas ini juga menjadikan Riri menjadi anak yang mandiri. Selain itu
juga menjadikan Riri terbiasa hidup dengan tekanan dan tuntutan. Pada akhirnya
membawa Riri tumbuh menjadi orang yang perfeksionis. Bisa dibilang, menjadi
yang terbaik dalam segala hal, menjadi sosok sempurna adalah sesuatu yang
menancap kuat pada diri seorang Riri. Tidak jarang hal semacam inilah yang
sering kali membawa seorang Riri memiliki prestasi meskipun tidak sampai
tingkat yang mampu mencengangkan orang-orang. tak hanya itu, dari sisi mental,
Riri tumbuh menjadi orang yang bisa dibilang tahan banting dan tahan tekanan
ketika dihadapkan dengan urusan dunia luar rumahnya. Mental baja itu juga
membuat seorang Riri mampu dengan santai menghadapi orang lain yang
melepaskan energi negatif di hadapannya, seperti kemarahan orang, cacian orang,
makian orang dan sebagainya. Riri tidak pernah tumbang hanya karena dilabeli
buruk oleh orang. Memang sungguh bagus dan keren sih hasil didikan yang
diberikan oleh orang tua dan keluarga Riri tersebut.
Akan tetapi, ada satu sisi yang justeru
membuat seorang Riri jatuh ke titik terendah kehidupan. Ia adalah manakala
pikiran tak tentu arah, perasaan terluka ruam hingga jiwa tak lagi mampu
melihat warna. Sebuah didikan yang begitu terlalu keras membuatnya merasakan
luka. Luka dalam yang tidak pernah diungkap ke permukaan sebab tiada tempat
untuk memperlihatkan luka. Jiwa kemandirian yang terbentuk membuatnya terbiasa
sendiri mengatasi semua permasalahan hingga membuatnya terbiasa sendiri dengan
lukanya. Sisi lain yang perlu disadari adalah setegar apapun manusia, ia
tetaplah manusia yang tidak bisa sendirian. Ia tetaplah manusia yang
membutuhkan sandaran. Itulah problem terbesar yang riri sendiri tidak menyadarinya
dan tidak pula tahu harus bagaimana dalam problem terbesarnya. Hal yang ada
dalam kepala Riri adalah ia harus menyelesaikan sendiri semuanya.
Sepositif apapun manusia, ketika ia sedang
menjalani masa kritisnya, ia akan menjadi manusia yang memang sangat memerlukan
pelukan hangat. Usia 20-an tahun adalah usia dimana manusia mengalami masa
kritis pertmanya. Usia ini membutuhkan kehadiran orang yang memang lebih dewasa
dan memang sangat penting sebagaimana anak bayi atau anak kecil yang sangat
memerlukan kehadiran orang lain disekitarnya. Keluarga memang menjadi solusi
dalam hal yang seperti ini. Bukan karena keluargalah yang pasti bisa memberikan
jalan untuk keluar dengan sangat kilat dari masa kritis ini, namun karena
keluarga adalah yang menjadi charger energi sehingga kekuatan kita bisa kembali
pulih 100%. Sayangnya, hal itu tidaklah dimiliki oleh Riri. Keluarga yang
seharusnya menjadi rumah tempat pulang malah bagaikan penjara yang bagai tidak
berperikemanusiaan.
Hari itu Riri tak lagi mampu menggunakan
pikirannya dengan baik. Perasaannya juga tak lagi bisa berjalan dengan baik.
Jiwanya pun juga tak lagi berfungsi dengan baik. Alhasil, selesai hidup sebelum
waktunya adalah hal yang menjadi kesimpulan dari segala database yang berada di
kepala seorang Riri. Beruntung, intuisi itu tidak mati. Signal yang memberikan
peringatan tentang hal-hal yang tidak begitu baik-baik saja itu masih bisa
terdeteksi oleh kesadaran Riri yang entah tinggal seberapa persen. Meski kecil,
hal tersebut mampu membawa seorang Riri yang memang memiliki kepribadian
pantang menyerah untuk berjuang kembali menjadi baik-baik saja dan kembali
menjadi normal.
Beragam cara Riri tempuh, bahkan cara yang
dilarang dalam agamanya sendiri pun ditempuhnya demi berthan hidup. Ketika
curhat pada Sang Pencipta tidak membuatnya serta merta langsung sembuh
seketika, maka menjadikan Riri menempuh jalan curhat kepada sesame manusia.
Memegang syariatnya bahwa perempuan dan laki-laki non mahrom tidak dibolehkan
untuk curhat-mencurhat, Riri mencoba memberitahukan hal tersebut kepada sahabat
dan teman sesame perempuannya. Harapan Riri adalah sesame perempuan bisa
memberikan setidaknya pengertian atau setidaknya pelukan hangat untuk menenangkan,
terlebih lagi jika bisa menguatkan kembali mental seorang Riri yang memang
sedang goyah. Bagaimanapun harapan hanyalah harapan. Syariat tersebut pun
akhirnya dilepaskan oleh riri dan diterabasnya. Laki-laki non mahrom tidak lagi
ada dalam kamus hidupnya kali ini. Riri menempuh jalur kenekatan untuk
mendapatkan pertolongan tentang mental health-nya. Beruntung, ada 1 teman
laki-laki dari SMA yang pernh di lewatinya yang membantunya berhasil kembali
menjadi sedikit lebih waras, setidaknya mengembalikan seorang Riri untuk
mencoba menemukan jalan lain dalam mengatasi luka hatinya, jalan yang kini
belum terpikirkan dan yang pasti bukan menyudahi hidup yang belum waktunya.
Satu teman laki-laki itu masih belum cukup
bisa membuat Riri menyelesaikan dengan baik akan luka hatinya itu. Professional
menjadi jalan yang paling tepat untuk meneruskan perjuangan seorang Riri
mengatasi luka hatinya. Entah berapa uang yang harus Riri keluarkan demi obat
penenang (psikoterapi) dan juga demi konseling atau sekedar cerita membuang
stresnya. Perjuangan yang memang memakan waktu cukup lama itu pun tidak
dipungkiri membawa sebuah kejenuhan. Tibalah sebuah titik dimana satu-satunya
teman laki-laki yang membantunya itu pun memutuskan untuk berhenti membantu
Riri untuk sembuh.
Seorang Riri tetaplah seorang Riri.
Didikan yang memang penuh tuntutan menjadikan seorang Riri juga menuntut
dirinya sendiri harus berhasil menyelesaikan perjuangannya selama ini untuk
menyembuhkan luka-luka hatinya itu. Sendiri Riri memutuskan untuk mencoba
menarik keluarganya, tempat dimana dia merasakan semua luk-luka itu. Riri yang
memang masih tidak baik-baik saja akhirnya memutuskan untuk menantang
ketidakbaik-baik sajaannya itu. Ia pun menyatakan semua itu pada sang keluarga.
Orang yang tidak menyadari bahwa dia melukai orang lain tetaplah tidak merasa
bahwa dia telah bersalah. Orang yang tidak pernah mengalami luka yang sama
tetaplah tidak akan pernah mengerti dengan paham betul bagaimana dalam dan
cukup berartinya luka itu. Fakta mencengangkan pun Riri peroleh dari
keluarganya sendiri. Bagi keluarga Riri, sakit mentalnya, depresinya, hanyalah
sebuah “kesurupan” yang sedang dialami oleh seorang Riri.
Hancur memang sungguhan dirasakan oleh
seorang Riri. “Bagaimana mungkin jika
Riri memang kesurupan maka Riri diberikan obat terapi psikologi? Jika Riri
memang beneran kesurupan bagaimana mungkin ayat-ayat Tuhan yang memang pada
masanya difungsikan untuk “ruqyah” tidak membuat Riri memberikan efek yang memang
ditunjukkan oleh orang-orang yang kesurupan? Apakah mereka tidak menganalisis
hal tersebut?”, demikianlah hal-hal yang memang sedang merajai pikiran dan
perasaan Riri juga mengguncang jiwa seorang Riri buat saat ini.
Kecewa. Marah. Hal yang merajai Riri
selama satu bulan penuh dalam menjalani harinya pasca kejadian yang begitu
mencengangkan dari keluarganya sendiri. Berat memang terasa karena Riri yang
biasanya memiliki 1 teman laki-laki dari SMA yang sama untuk bercerita ini itu
kini tidak lagi ada. Psikolog adalah hal yang menjadi andalah Riri ketika sudah
tidak tahu lagi harus bagaimana. Meski Tuhan adalah yang pertama di kontak oleh
makhluk, semua hal yang menjadi takdir-Nya memang harus memenuhi hukum
sebab-akibat-Nya. Lari ke psikolog adalah pilihan paling berlogika dan paling
sadar dalam keadaan yang seperti ini.
Pada akhirnya, yaweslah adalah sebuah
kesimpulan luar biasa yang memang Riri ambil dan pilih. Yaweslah adalah yang
membuat Riri benar-benar merasa sudah berhasil menyembuhkan luka-luka hatinya
yang memang begitu dalam dan mengguncang jiwanya. Yaweslah aalah sebuah
perwujudan keadilan. Adil dalam menghargai dan mencintai. Menghargai dalam
artian menerima keburukan dan kebaikan. Mencintai dalam artin meneruskan
keburukan dan kebaikan. Yaweslah dalam makna bahwa diri sendiri memang harus
berjuang sendiri karena memang hanya diri sendiri yang bisa membantu diri
sendiri. Yaweslah adalah perwujudan kebenaran bahwa tiada seorang pun yang bisa
memahami kita kecuali diri sendiri. Yaweslah adalah sembuh. Sembuh adalah
pilihan Riri hingga pada akhirnya Riri memang benar-benar sembuh. Berhasil
kembali bahagia menjalani hidup. Berhasil kembali menubuhkan sayap yang sangat
kuat agar dirinya bisa terbang bebas kemanapun yang memang Riri inginkan. Kembali
hidup santai dan ber-haha-hihi. Yaweslah adalah iman kepada Tuhan.
***
Selesai J
PERHATIAN!
mohon maaf, beberapa kalimat dan pernyataan dalam tulisan ini memang
menuntut pembaca membaca dengan pemahaman yang mendalam, baik
terkait pemahaman tentang agama, falsafah hidup, situasi, kondisi, psikologi dan lain-lainnya
terima kasih