Perasaan
Pembawa Duka
Tungku itu sudah kupenuhi dengan
kayu kering. Tangan kiriku sudah memegang daun kelapa kering sementra tangan kananku memegang korek api. Kretek…… kretek….. kretek…..
Api dari korek itu mulai menjalar di daun kelapa kering yang kupegang,
membakarnya dan memunculkan nyala api yang sudah sangat mampu mandiri tanpa
bantuan si korek api lagi. Aku segera mengarahkannya menuju tungku yang sudah
kupenuhi kayu kering. Perlahan kayu itu pun terbakar dan menghasilkan nyala api
yang cukup lebih besar dan sangat bermanfaat. Tungku itu diatasnya bertengger
dua buah panic untuk memanaskan air buat mandi. Rupanya aku sudah berhasil
menguasai kembali keahlian zaman jadul yang pernah aku kuasai itu.
“Ah…. Sepi
sekali ya.”,
gumanku sambil terduduk di samping tungku. “Semua
di WFH. Semua kerja tanpa tatap muka karena memang tak perlu diperlukannya
meeting yang sangat urgent. Ujian just kerjain dan send via fasilitas internet.
Zaman sudah berubah ya.”, lanjutku. “Dulu aku pengen banget punya HP. Sekarang
aku dah punya. Laptop juga. Pokoknya perkembangan teknologi hari ini aku punya,
meski hanya minimal. Media sosial aku juga punya. Tapi, semua itu taka da gunanya.
Sepiku tetap ada. Sendiriku tetap abadi dari dulu sampai sekarang. Aku tetep
sendirian ga punya teman. Taka da yang mencari atau mengabariku dari seberang
sana.”, lanjutan
gumananku yang semakin menjadi.
Aku
tak menyadari sejak kapan meneteskan air mata karena aku memang tidak merasakan
kapan aku mulai menangis. Yang aku tahu hanya ada rasa sakit, perih dan teriris
di dalam hatiku. Sangat sakit. ,erasakan penderitaan hidup sendirian, seolah
terbuang dari masyarakat, seolah diasingkan dan tidak dianggap oleh masyarakat.
“Ah. Sejak dulu kan aku memang tidak pernah diharapkan. Ayah
kandungku sendiri selalu ingin membunuhku sejak aku kecil. Mana mungkin aku
bisa punya teman. Adanya aku hanya akan dijauhi.”, ucapku pada diri sendiri. Aku mencoba mengajak
diriku ngobrol.
“Hey.
Rina. Kenapa kamu bicara begitu?”, ucapku memulai mengajak diriku sendiri berbicara.
“Apakah
aku tidak boleh mengungkapkan semua yang aku rasakan selama 22 tahun hidup
dimuka bumi?”,
jawabku pada pertanyaan yang diajukan diriku sendiri.
“Hey
Rin. Aku tidak pernah melarangmu. Aku justeru bahagia kamu mau berbagi
denganku.”,
ucapku pada diriku sendiri yang berpura-pura layaknya orang lain, layaknya seorang
sahabat yang sangat peduli pada sahabatnya.
“Aku
merasa sakit. Sepi. Sendirian. Aku merasa yatim piatu. Ga punya orang tua, ga
punya teman, ga punya sahabat. Semua teman dan sahabatku pergi setelah aku
jujur tentang keadaanku yang sedang sakit. Aku merasa takut sendirian. Aku takut
hidup di dunia ini.”,
ucapku.
“Rina.
Tolong dengarkan aku. Kamu ngga sendirian. Ada aku, dirimu. Aku selalu
bersamamu dalam suka maupun dukamu. Ayo kita terus bertahan hidup bareng. Kita harus
mandiri. Kita harus hidup tanpa seorang pun diluar sana. Kita hidup hanya butuh
kasih sayang Allah. Aku tahu ini berat. ga mudah. Karena kita makhluk sosial. Tapi
apa boleh buat jika orang lain tidak mau menerima kita yang sakit-sakitan, maka
hidup sendirian di tengah hutan belantara tanpa seorang yang lainnya pun kita
harus bisa. Kita punya Allah. Kita punya alam. Jangan takut.”, jawabku
memancing diriku agar tenang.
“O iya. Ngapain aku harus merasa
takut dan merasa sepi karena ga punya teman dan sahabat yang mau menerima
diriku yang sakit. Bukankah memang teman dan sahabat itu ada dan bisa dihitung
saat kita lagi bahagia dan bergelimang harta atau tahta tapi kita tak akan
punya teman atau sahabat saat kita hidup susah, hancur dan berantakan? Ah,
benar sekali yang kamu bilang, aku harus kuat hidup sendirian tanpa seorang
teman ataupun sahabat seorang manusia yang menerima sakit ini. Aku ga perlu
takut, karena aku sekarang udah nemuin sahabat setia dan teman sejati, dia
adalah Alkitab dan aku juga sudah menemukan rumah dan keluarga yang nyaman,
yaitu alam semesta. Benar yang kamu bilang. Makasih ya udah ingetin aku.”, ucapku.
Tangisku
terhenti. Perasaan takut, sepi dan sendiri itu perlahan memudar. Meninggalkan sebuah
senyum bahagia karena aku memiliki teman sejati dan sahabat sejati, dia adalah
Alkitab, Al-Quran, yang selalu setia menemaniku saat senang maupun susah. Aku
juga merasa bahagia saat merasakan aku punya rumah dan punya keluarga yang
sangat nyaman dan hangat, dia adalah alam semesta.
“Ah,
aku sadar ini memang aneh dan berbeda. Benar sekali yang pernah dikatakan
Trisna bahwa aku aneh. Aku cewek aneh yang berbeda dari cewek pada umumnya. Ah.
Biarkan saja siapapun berkomentar. Aku aneh karena memang keluargaku aneh. Ayah
yang mau bunuh putrinya. Apakah cewek diluar sana mengalami yang aku alami ini?
99% tidak. Makanya sudah pasti donk aku beda.”, kataku membangun jiwaku agar
lebih damai karena merasa hancur dan illness dikatakan aku adalah cewek aneh
yang berbeda dari cewek pada umumnya.
“Oh ya,
ada satu lagi. Apakah aku tidak bertanggung jawab? Ah. Biarkan saja mereka
berkomentar. Kalau aku ga bertanggung jawab mana mungkin aku berjuang
menyembuhkan diriku dari jiwa psikopatku, jiwa berkepribadian gandaku dan sakit
mentalku yang sampai mau bunuh diri? Kalau aku tidak bertanggung jawab atas
hidup yang Tuhan berikan padaku ngapain aku berjuang sembuh dan berusaha
taubat? Jadi, mereka yang bacot dan vonis aku ga bertanggung jawab adalah
mereka yang tidak pernah mengenalku. Ya, itu tepat sekali. Mereka hanya tahu
namaku namun tidak pernah mengenalku. Memang sih aku ga bisa bertanggung jawab
dalam banyak hal bersamaan, karena tanggung jawabku mengurusi diriku yang harus
bertahan hidup (jangan sampai aku mati bunuh diri) di tengah kecaman masyarakat
karena sakit mentalku ini sudah merupakan jihat terberat bagiku. Maaf, itu
kelemahanku, yakni aku hanya bisa focus pada satu hal.”, belaku terhadap diriku saat
menjadi tambah illness mana kala teringat dikatai bahwa diriku bukan orang yang
bertanggung jawab.
Api
di tungku itu mulai berkobar. Aku segera membenahinya agar kobaran tidak
kemana-mana. Usikan kecil ini sudah cukup membantuku mengusir jiwa illnessku
yang kumat. Aku teringat satu hal, kura-kura. Aku harus jadi kura-kura. Masuk
kedalam tempurung saat aku kena masalah. Tidak lari dan tidak menghindari itu
masalah. Namun juga tidak berkutat untuk mencari pemecahannya saat kena
masalah. Melainkan berkutat mencari ketenangan dalam tempurung itu. Ya. Itu yang
akan aku lakukan mulai hari ini. Menjadi kura-kura. Masuk dalam tempurung saat
kena masalah dengan maksud mencari ketenangan di tengah masalah. Baru kalau aku
sudah bisa tenang aku muncul lagi dengan sebuah solusi yang hendak kucari. Kalau
masalah itu sudah lalu atau tidak jadi menjadi sebuah masalah saat aku muncul,
ya Alhamdulillah. Tapi kalau masih bertengger juga tu masalah, insyaa Allah aku
sudah mempunya ketenangan yang cukup untuk menghadapinya. Klunting….. Tiba-tiba
ponselku berbunyi memberitahukan bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Aku membukanya.
“Rina,
selamat ya.”,
isi pesan dari orang yang tidak asing bagiku, Trisna.
“Hah?
Selamat apa Tris?”,
tanyaku yang tidak paham apa yang dimaksud oleh Trisna.
“Coba
deh cek pengumuman lomba novel internasional. Yang kita ikut itu hloh.”, jawab Trisna.
“Eh.
Iya. Aku lupa kalau aku ikut lomba. Bentar tak cek.”, jawabku.
“Dasar.
Kalo ga tak perhatiin kenapa ga ingat sih Rin?”, sahut Trisna yang mulai
nylonong.
“Hidih.
Aku lupa ga sengaja minta kamu perhatiin kok Tris.”, jawabku.
“Iya
udah. Ga usah tabung gas meledak.”, jawabnya yang kubalas hanya dengan emotikon tertawa terbahak-bahak.
Aku pun segera membuka browser untuk melihat pengumuman itu.
“Wah. Selamat
buatmu juga ya Tris. Keren. Ngiri aku tapi sama poin nilaimu yang tinggi banget
di bab pemakaian bahasanya.”, chatingku ke Trisna usai melihat pengumuman.
“Ya
pasti donk kamu iri. Sudah hapal aku. Makanya aku saingi. Tapi kamu tetep sulit
dikalahkan ya ternyata.”, jawab Trisna.
“Dih.
Hapal katanya. Hidup lo penuh apalan ya. Wkwkwk….. Yaudah deh biar ga saingan
aku ga ikut aja biar lo jadi juara 1 nya. Wkwkwk….”, sahutku menyambut candaan dari
Trisna.
“Oneng
lo Rin. Kalo lo ga ikut ya gua males ikut. Ngapain. Tujuan gua ikut kan bukan
buat menang. Tapi terpaksa harus berusaha juara.”, jawab Trisna.
“Oncom
merah dari kedele. Kalo bukan buat menang terus ngapain tujuan kau Tris? Dapat
pengalaman aja?”,
tanyaku.
“Sari dele
lo.Iya. Pengalaman jaga lo soalnya dikhawatirkan pas dapat hadiah jalan-jalan
ke luar negerinya sendirian, terus kumat. Siapa yang akan jaga lo dan temenin
lo pas kumat? Terutama kumat merasa sepi dang a punya teman.”, jawabnya.
“Eh, lo
marah? Lo keberatan jadi support sistemku?”, tanyaku yang merasa khawatir
dia marah dan merasa dia keberatan jadi teman ketika aku sakit.
“Oneng.
Marah kalo lo sampai berhenti beruang sembuh. Oncom keberatan. Mana ada
keberatan. Kalo gua keberatan ga gua lakuin.”, jawab Trisna.
“Ya
Allah, Tris. Makasih banyak buat semuanya. Maafin aku.”, jawabku sambil menangis haru.
“Hmm….
Apal ni aku. Pasti lo ini lagi nangis. Bener kan? Iya, sama-sama. Pokoknya
tetap bergerak. Jangan berhenti ya. Stay moving! Kamu pasti bisa lewatin ini
semua.”,
jawab Trisna.
“Siap
komandan. Wkwkwk…. Betewe, apa sih yang lo gatau? Gemes aku.”, jawabku.
“Selamat
beraktifitas sore hari ya. Have nice day, Rina. See you.”, jawab Trisna sambil mengakhiri
percakapan singkat.
Aku
segera menyelesaikan aktifitas soreku. Tentunya sambil bersemangat karena
berhasil meraih hadiah jalan-jalan keluar negeri yang aku impikan. Yang lebih
membahagiakan adalah keberhasilanku menemukan teman sejati dan sahabat setia
selama ini yang akhirnya Allah mudahkan buat kembali bersama. Ya, dia sahabat
setiaku, teman sejatiku, Al-Quran. Penemuan ini menjadi sebuah kekuatan baru
yang kutemukan dan yang sangat membantuku untuk berusaha terus bertahan hidup
sampai matiku adalah dengan cara yang seharusnya, bukan dengan bunuh diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar