Translate

Senin, 22 Juni 2020

Pasca adalah Saat yang Teramat Berat (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hiudpku)

Pasca adalah Saat yang Teramat Berat

            Thok….. Thok….. Thok…… Mataku terbuka menganga. Alhamdulillahhilladi ahyana ba’dama amatana wailaihinnusur. Itu ucapan seketika yang keluar dari mulutkku manakala mataku terbuka dengan cepat. Nyawaku terkumpul dengan gesit dan membuatku sepenuhnya sadar. Kasurku bergoyang hebat. Aku segera meloncat, menuruni Kasur, membuka pintu kamar dengan gesit dan lari secepat kilat menuju pintu utama dan gesit membukanya lalu lari keluar. Ayah dan ibuku tak berapa lama juga menyusulku keluar. Ternyata dugaanku salah bahwa mereka sudah diluar lebih dulu. Setelah kira-kira lima menit berlalu, goyangan yang kurasakan itu mereda dan aku kembali masuk kedalam rumah. Mataku menyapu jam dinding yang menunjukkan pukul 02.55 dini hari.

            Ngendi ki sing amblong yo?”, tanya ibuku.

            Daerah sekitar kene pasti. Laut kidul kui sajake. Tapi rmboh tepate ngendi.”, sambut ayahku.

            Aku balik bobook ke kamar ya bun.”, pintaku ke bunda.

            Iya. Sana balik tidur. Jangan kebablasan buat shubuh tapi ya Rin.”, sambung bundaku.

            Aku langsug masuk kamar lagi. Memosisikan tubuh senyaman mungkin diatas ranjang, memasang selimut dan pergi tidur. Pukul 05.30 pagi hari aku bangun. Ya, memang aku sengaja bangun agak siang karena aku memang tidak lagi Islam -meskipun fakta ini tidak diketahui keluargaku- dan alasan lainnya karena tubuhku terasa lelah sekali. Padahal aku tidak bekerja cukup keras. Sepertinya ini sinyal sebagai tanda bahwa aku memang benar-benar lelah, bukan secara fisik melainkan secara psikologis. Fakta ini sudah terkonfirmasi dengan seringnya aku berurusan dengan tenaga ahli dalam bidang kejiwaan untuk menjalani pengobatan.

            Dalam keadaan sepagi ini yang seharusnya aku bersemangat dan bergairah untuk menyambut hidup hari ini, aku malah harus menahan kegusaran hati yang luar biasa dan menjinakkan jiwaku yang kembali gusar. Lagi-lagi sebuah hal sepele yang sebenarnya wajar saja, namun karena mental illness-ku dan jiwa insecure-ku membuatku harus merasa baper yang sangat mendalam.

            Ih…. Rian kemana sih. Dia hlo lihat story medsosku. Tapi kok dia ga baca atau jawab pesanku ya? Seburuk itukah aku harus dia buang? Apakah sakitku ini harus membuat orang yang sudah aku percaya, yaitu Rian menjauhiku dan tidak menganggapku ada? Ah, yaudah deh. Mungkin benar aku tidak berharga danga berguna lahir ke dunia.”, gumanku di pagi hari yang membuatku lebih dalamlagi merasakan sakit yang seharusnya tidak aku rasakan. Seharusnya aku memang tidak menghubungi Rian. Seharusnya aku tidak pernah memberi tahu dia kalau aku sakit. Biar dia ga membuangku. Setidaknya seperti itulah yang memenuhi pikiranku dan membuatku menyalahkan diriku sendiri.

            Aku sudah tidak tahan lagi menahan luka yang menggores lebih dalam lagi dan lagi. Aku lebih memilih selancar  di media sosial lain yang disana aku hanya memfollow orang-orang yang tidak aku kenal. Aku mulai menggeser layarku sedikit demi sedikit. Membaca postingan mereka. Sesekali aku membuka jendela browser tempatku selancar informasi mengenai penanganan pasca bunuh diri. Sejak beberapa hari lalu aku gagal membaca isi ulasan di laman browser tersebut, namun akhirnya kali ini berhasil aku selesaikan. Tapi aku tak berhasil paham maksudnya karena aku merasa belum kuat untuk memahaminya. Aku tidak berani memaksakan diriku. Aku lebih memilih membuka media sosialku itu dan kembali membaca-baca sebuah postingan dari seseorang.

            Orang jika sedang lapang, memiliki kekayaan dan kekuasaan pasti banyaklah temannya tapi jika sedang sempit, miskin dan jatuh pasti sedikitlah temannya.”, demikianlah isi sebuah postingan yang aku baca.

            Ah, benar sekali yang dikutip dalam postingan ini. Dulu waktu ga ada yang tahu kalau aku sakit dan waktu itu aku masih bisa jadi bintang juara di sekolahku, banyak orang yang bersikap baik sama aku. Berusaha mendekatiku dan mau jadi temanku. Ya walaupun tujuan utama mereka bisa kutebak, yakni memanfaatkanku buat nyontek jawaban kalau ada tugas maupun ujian. Tapi, sekarang, saat sakitku benar-benar parah dan mereka tahu aku sakit, mereka meninggalkanku. Tak pernah menganggapku. Status teman hanya sekedar tahu namanya aja, tapi tak pernah mau bener-bener berteman dekat sama aku.”, ucapku pada diriku sendiri yang kemudian diiringi air mata yang membanjiri wajahku. Aku segera menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, merentangkan tanganku, menghirup udara pagi yang menembus kamarku dan berusaha payah melukis segaris senyum dengan bibirku.

            Ya. Mungkin memang seperti ini garis hidup yang harus aku lalui. Sendirian. Diasingkan. Dihindari dan dijauhi karena aku sakit mental, depresi dan beberapa kali mencoba bunuh diri. Tapi, yasudahlah. Biarkan mereka membuangku dari kehidupan sosial manusia. Biarkan tidak ada satu orang teman dan sahabatku dari kalangan manusia. Aku sudah menemukan sahabat setia dan teman sejati, yakni Alkitab dan aku sudah menemukan keluarga dan tempat tinggal paling nyaman dan paling hangat, yakni alam semesta.”, ucapku menenangkan diriku sendiri dan membesarkan diriku.

            Biarlah Rian tidak lagi menganggapku dengan dia mengabaikan pesan-pesanku walaupun aku sangat kecewa telah mempercayainya. Aku sangat bodoh telah bercerita padanya. Biarlah ini menjadi caraku bersikap kedepannya bahwa aku harus tetap merahasiakan sakitku ini dari publik. Biarlah aku menjadi orang yang selalu aneh dan misterius. Dunia tak perlu kenal siapa diriku. Tanpa Rian aku harus tetap bisa bersemangat melanjutkan hidupku. Tanpa Rian aku juga harus merasa bahagia. Gapapa sendirian ga punya teman dan sahabat, yang penting aku harus tetap bertahan dan berjuang. Setidaknya aku harus berjuang tetap hidup dan mati dengan cara sewajarnya, tidak bunuh diri. Meski perjuangan ini harus aku lakukan sendirian, tanpa support dari Rian, sahabat kepercayaanku lagi.”, ucapku pada diriku sendiri untuk menguatkan diriku yang teramat lemah dan hancur.

            Aku orang yang bertanggung jawab. Mempertahankan nyawaku sampai takdir kematianku yang sudah ditetapkan. Aku harus bisa menjalani masa pemulihan pasca percobaan bunuh diri ini meski sendirian. Aku pasti bisa melewati ini semua. Biarlah aku sendirian, aku yakin suatu hari aku akan menemukan seorang mentor yang mampu membantuku menjadi orang dan aku akan menemukan seseorang yang benar-benar mampu menerimaku dengan segala penyakit mental dan segala masalah serta vonis sosial yang aku terima saat ini. Toh aku juga tidak perlu khawatir soal makanan dan pasangan hidup. Makanan, aku bisa memakan apapun dari alam. Pasangan hidup, belum tentu usiaku di dunia ini akan lama lagi. Jadi aku hanya perlu focus memepertahankan nyawaku agar tidak mati bunuh diri. Aku yakin aku bisa kuat seorang diri. Aku harus bisa menorah ebuah tulisan. Mungkin itu yang akan aku lakukan saat ini untuk mengisi waktuku dan bercerita tanpa ada telinga yang mendengarkan. Setidaknya itu cukup membuatku merasa berhasil memanfaatkan waktu.”, ucapku sambil tersenyum dan air mata menetes karena merasa sakit sekaligus merasa sedikit bahagia.

            Waktu terus berjalan. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan dua jam penuh. Aku segera keluar kamar. Ya, seperti biasa. Di rumah yang saat ini aku tinggali, setiap hari aku hanya mendapati kedua orang tuaku yang sedang sibuk dengan diri mereka sendiri. Ibuku sibuk memasak. Ayahku sibuk merenung. Taka da obrolan hangat keluarga disini. Hal yang membuatku merasa tak memiliki keluarga dan tempat pulang. Hal yang membuatku merasa yatim piatu yang palsu. Hal yang membuatku sadar bahwa aku tak punya teman dan tak punya sahabat yang mau menerimaku dengan tulus. Hal yang selalu membuatku ingin lari dari kehidupan, mati, bunuh diri dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Aku meneruskan langkah. Menuju serambi timur rumah. Menyaksikan matahari yang menyapaku dengan kelembutan. Aku tersenyum menyambutnya juga.

            Stop. Jangan berpikir bahwa bunuh diri adalah jalan keluar Rin! Itu memang membuatmu selesai dengan semua penderitaanmu saat ini. Tapi, itu adalah kesia-siaan palsu. Kamu sudah pahan dan yakin bahwa iblis itu ada. Hati-hatilah terhadap iming-iming kebahagiaan dari iblis dengan cara bunuh diri. Please ya Rin, tolong tetaplah sadar. Kita pasti bisa hidup sampai batas waktu yang ditentukan.”, kataku pada diriku sendiri sambil menarik napas dalam.

            Aku kembali masuk kedalam rumah. Mengambil headset dan ponselku. Memutar music kesayanganku dan kembali ke serambi timur rumah. Aku terus berjalan menuju selatan, mengambil air dengan ember lalu menyirami tanaman di halaman rumahku. Aktifitas singkat, namun sangat cukup buat mengusir perasaan tidak baikku. Usai menyiram tanaman ini, ada sebuah kebahagiaan yang aku rasakan. Menikmati hari dengan melakukan aktifitas yang aku mau. Satu hal yang sebenarnya aku inginkan, aku butuh support sistem pasca depresi dan percobaan bunuh diriku. Aku butuh lingkungan baru. Aku butuh seseorang yang mau sepenuhnya kuterima dengan keadaanku yang menderita sebuah penyakit. Aku berharap Tuhan memberiku kekuatan untuk tetap bergerak dan bertahan walau aku sendirian.

***

 

 

Terima kasih sudah membaca. Kritik yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Kirim di komentar atau E-mail riwayatnaniklestari@gmail.com J


Tidak ada komentar:

Posting Komentar