Translate

Rabu, 17 Juni 2020

Memori dalam Otak Tak Sadarku (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hidupku)

Memori dalam Otak Tak Sadarku

            Kukuruyuk…… Suasana ramai karena sahut-sahutan kokok ayak jantan dari kandang samping rumah menganggu tidurku. Mataku terbuka kaget bukan kepalang seperti hendak loncat begitu saja dari tempat tidurku. Napasku tersengal, mataku membuka terbelalak. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemeteran. Keringat mulai bercucuran bukan karena kondisi yang gerah, tetapi karena takut, khawatir dan cemas. Aku tidak tahu apa yang terjadi pun tak ingat apa yang aku pikirkan. Namun yang jelas nyata terlintas hanya ada satu hal, yakni perasaan tidak tenang, tidak nyaman, tidak aman dan tidak tentram yang sangat membara. Rasa takut yang begitu memincak sampai seolah menghentikan napasku seketika. Entah sudah seberapaa lama mataku meneteskan air mata membasahi bantalku yang juga diiringi ingusku yang sangat cair.

            Hemmhhh……. Aku menarik napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Mengulanginya beberapa kali sampai aku merasa sedikit tenang dan bisa bernapas. Otakku mulai beralih dari tak sadar menuju sadar. Rekaman lama, kisah di masa kelam, masa yang penuh ancaman pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya mulai perlahan kabur dan menghilang. Tanpa kusadsri ternyata memori itu sudah membenam ke dalam otak tak sadarku yang sering kali tanpa sengaja terputar dengan sendirinya. Hal yang selalu menjadi batu sandungan bagiku untuk tetap terkontrol di bawah kesadaran. Rintanan terbesar bagiku untuk sehat dan kembali normal.

            Hei otak. Stop! Jangan putar apapun! Jangan replay apapun! Jangan mengingat apapun! Stop! Berhenti!”, kataku dengan tegas sembari kedua tanganku memegangi kepalaku yang kulanjutkan dengan menarik napas dan menghembuskannya secepat kilat beberapa kali. Beruntung, tips bicara tegas pada otakku manjur dan perlahan otakku kembali ke keadaan sadar. Gemetaran tubuhku masih terasa diiringi aliran keringat dingin yang mengucur. Perlahan aku mulai memperbaiki posisi dudukku menjadi posisi meditasi. Menegakkan punggung dan menyilakan kedia kakiku yang kuiringi dengan meletakkan kedua tanganku diatas lutut serta memejamkan mataku. Aku menarik napas beberapa kali sampai aku bisa berkata lebih jauh dan lebih banyak terhadap diriku sendiri.

Hei…… Rina….. Tenang ya…… Santai ya…… Tenang yaaa….. Tolong tenang yaaa….. Tenang…… Tenang…… Tenaaaangggg……. Semua aman…… Semua nyaman……. Semua tenang….. Tenang yaa…… Ga aka nada yang membunuhmu….. Ga aka nada yang mencelakaimu….. Ga aka nada yang membentakmu….. Tenang ya…… Semua aman…… Tenang yaa…..”, begitulah ucapku yang segera kuiringi dengan hembusan napas dalam dan perlahan yang ku ulang-ulang sampai aku merasa nyaman.

Mataku perlahan terbuka. Napasku mulai terasa hangat menenangkan. Perlahan aku meninggalkan posisi meditasiku dan segera bangkit merapikan tempat tidur. Tok….. Tok…. Tok….. Pintu kamarku diketuk. Kebetulan sekali, aku juga mau keluar mengambil wudhlu untuk sholat subuh. Aku bergegas membersihkan bekas air mataku dan segera membukakan pintu kamar.

Eh…. Ningrum……”, sambutku pada sahabatku itu sembari memberikan jalan ke Ningrum yang langsung nyelonong aja masuk kamarku. “Eh Ning. Aku baru aja rapiin itu Kasur. Astaga.”, gerutuku menyaksikan tingkahnya.

Biarin. Tar aku rapiin pelit.”, sambungnya ketus.

Eh. Pagi buta udah mau mulai ngajak ribut tetangganya nih orang ya. Gila lo. Aduh.”, sambungku sambil tepuk jidat.

Tadi aku denger isak tangis. Kamu knapa sih? Diputusin cowok kamu si sapa tuh….. Trisna itu yaa? Eh, bukan. Itu yang kamu ceritakan sedang menyelesaikan Pendidikan Intelejinnya. Si Rian?”, pertanyaan selonongnya sahabatku yang selalu berlagak sok tahu itu.

Idih. Cowok apaan? Sejak kapan aku pacaran ama dia? Amit-amit deh. Ogah kali gua ilangin sahabat gua buat jadi pacar. Masa iya gua mau nikah sama sahabat sendiri? Ngayal lo Rum!”, seru ketusku seraya ngomel akan sangkaannya bahwa aku pacaran sama sahabat cowokku itu, Trisna.

Ya aku kira kalian pacaran. Abis akrab banget. Lengket banget.”, sambung Ningrum.

Astaga Tuhan. Bener ya kata orang ternyata, cewek kalo akrab ama cowok pasti jadi fitnah gini nih. Aduh, sialan lo Rum. Tega fitnah gua pacaran ama Trisna atau Rian. Gua tinju lo.”, omelku kesal pada Ningrum sambil melemparkan guling yang sedari tadi aku pegangan ke muka sahabatku itu.

Hehehehe……. Canda kali Rin…. Langsung ngambeg aja. Makin manis tapi kalau marah gitu.”, ucap Ningrum sambil menggodaku agar ga marah lagi.

Gombalin terus deh. Bilang sekalian aduh gantengnya, mau donk aku jadi isterinya. Dasar gila lo.”, tamparku ke Ningum menggunaakan kata-kata karena sangat emosi.

Ya ampun Rin, kamu masih aja kaya anak kecil tau ngga. Kalo marah yang elegan apa. Gini yang bikin aku khawatir kalau kamu kluyuran di luar sendirian, ga ada yang nemenin. Tar diguyur pakai air selokan lo. Pulang-pulang seisi rumah pingsan gara-gara ngecium bau wanginya lo. Wkwkwkwk…..”, timpal Ningrum.

Idih. Ogah kali di guyur.”, timpalku. “Betewe, gimana bisa sih lo sepagi buta ini ke rumah gua. Sapa juga yang udah mau lo repotin buka gerbang jam segini?”, tanyaku sambil merasa kesal karena kedatangannya bertamu ke tempatku di jam segini. Memang sejak kecil kami sudah seperti anak kembar. Akses kerumah masing-masing saling  bisa 24 jam.

Idih. Kaya lo ga pernah ke kamar gua lebih pagi aja. Gangguin orang tidur buat sahur. Ngapain pula mama gua mau bukain pintu buat lo ya. Huh…..”, ucap Ningrum sambil ngelempar guling yang tadi kulemparkan itu mengenai mukaku.

Hahahaha…… Akhirnya aku dan ningrum tertawa barengan teringat kekonyolan saat membangukan dia waktu sahur hari itu. Kami pun berbaikan dan kembali akur. Seperti sedia kala. Ningrum Nur Nirwana. Itulah nama lengkapnya. Entah karena apa, aku sejak dulu meyukai namanya. Indah sekali menurutku. Dia adalah salah satu sahabatku sejak kecil. Mungkin karena orang tua kami adalah rekan bisnis yang saling berkolaborasi, ditambah lagi kami lahir hanya selisish sepuluh menit di rumah sakit yang sama dan di ruangan yang sama pula, makanya kami bisa akrab sejak kecil seperti saudara kembar. Namun ada satu hal yang aku tidak suka dari Ningrum, yaitu ketika selalu mengajak ribut dengan mengolok-ngolokku yang juga bersahabat akrab dengan Trisna dan Rian yang selalu ia pacar-pacarkan denganku. Namun sebuah keajaiban yang aku miliki bersama Ningrum adalah kami tak pernah bisa musuhan meski bertengkar sehebat apapun. Sebuah anugerah dari Tuhan yang sangat istimewa karena sudah memberiku sahabat yang bagiku adalah saudara kembarku sendiri.

Terus napa nangis? Sini cerita sama aku.”, tanya Ningrum.

Aku tu gapapa. Aku baik-baik aja kok Rum.” Jawabku menutupi apa yang sebenanrnya sedang kualami. “Aku Cuma kangen pualng ke rumah nenek aja. Tapi kan udah ga bisa kesana. kamu juga tahu kalau nenekku udah meniggal sejak tujuh tahun yang lalu.”, jawabku yang kemudian Ningrum memelukku.

Sabar ya Rin. Kamu ga sendiri. Kalau ada masalah jangan sungkan buat cerita ma aku. Bagiku kamu itu saudara kandungku.”, ucap Ningrum.

Iya Rum, makasih ya.”, jawab singkatku sambil tersenyum palsu.

Aku tahu Ningrum pasti tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, sepertinya lebih baik dia tidak tahu masalah sakit mentalku. Bukannya aku tidak mau dia tahu kalau aku sakit, tapi aku tidak mau kalau dia bakal ikut memikirkan sakitku. Aku pengen dia focus kuliah aja. Aku menyadari masalahku terlalu berat untuk dia ikut pikirkan. Bukan aku tidak percaya bahwa Ningrum bisa dan mampu aku andalkan untuk menjaga rahasia besarku ini, tapi aku hanya tidak ingin membebani dan membuatnya khawatir saja.



                                                                                ***


Note from writer:
Terima kasih telah membaca. Tanggapan, masukan, saran dan kritik yang membangng sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan-tulisan berikutnya. Tulis di kolom komentar atau kirim E-mail : riwayatnaniklestari@gmail.com. Atas masukkan teman-teman saya sampaikan terima kasih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar