Translate

Minggu, 07 Juni 2020

Ucapan Selamat Pagiku (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hidupku)

Ucapan Selamat Pagiku

 

            Allahhuakhbar 2x. Ashadualla illa ha illa Allah. Ashaduanna Muhammadar rasulullah. Khaiya’aalassholah. Khaiya’alalfalah. Qodqomadissholah 2x. Allahuakhbar 2x. Laillaha illa Allah. Uahhhhh……. Kantuk ini masih saja mengganduli tubuhku yang reyot diatas Kasur. Selimut ini kubenahi lagi agar menutupi sempurna tubuhku. Mataku manja terpejam diiringi ringkukan tubuhku yang kedinginan.

Rin…..”, sapa bunda dari luar pintu kamarku. “Rina…….”, ulang bunda. Tok…. Tok…. Tok….

Uh…. Berisik sekali sih.”, gerutuku sambil sempoyongan menuju pintu untuk membukanya. “Iya bunda, kenapa?”, tanyaku sambil menguap.

Masih juga nanya kenapa. Sudah fajar. Ayo bangun subuh.”, ajak bunda.

Ah…. Males bunda.”, sambungku ceplos tanpa peduli sopan santun.

Nak, kamu sudah besar nak. Sudah baligh. Ayo sholat!”, nada bunda agak meninggi.

Bodo amat.”, jawab ketusku sambil membanting pintu dan menguncinya lagi.

            Aku kembali menuju tempat tidurku dan kembali melemparkan selimut untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Aku mulai menutup bagian mukaku dan bersiap untuk tidur. Mataku terpejam, mencoba tidak memedulikan apapun yang terjadi sebelumnya. Mencoba menganggapnya ahnya sebuah mimpi buruk saja. Tapi aku tak lagi bisa tidur. Rasanya gelisah. Entah kenapa hati ini kembali merasa tidak enak. Mataku terpejam namun otakku berlari kencang. Memutar segala scenario, rekaman dan banyak video yang sangat mencekam.

Ahhh…… Sial…..”, gerutuku di dalam selimut.

            Aku segera bangun. Duduk menatap depan dengan penuh kekosongan. Tak ada apapun yang tertangkap oleh retina mata. Bukan hanya karena tatapanku kosong untuk hari ini, tapi memang kondisi kamarku dengan keadaan lampu mati memang turut membuat suasana semakin kosong. Hanya gelap yang memenuhi dan putaran dari berbagai rekaman, video dan scenario-skenaio yang akhirnya membuatku menjadi tertahan nafas. Tanpa sadar, airmata ini mengalir deras. Rasa takut yang begitu mencekam perlahan menyelimuti kakiku. Dinginnya seperti membuat tubuhku membeku.

            Meringkuk dalam duduk dengan membenamkaan kepala adalah cara terbaik yang bisa aku lakukan untuk mengurangi sakit yang sangat keras dari jiwaku. Aku tahu jiwaku meronta-ronta mengharapkan sebuah pelukan atau sebauh obat yang bisa menyembuhkannya. Tapi, hanya memeluk diriku dengan meringkuk yang bisa aku lakukan. Mengajaknya ngobrol pelan-pelan dan berusaha menenangkannya. Meski aku tahu apa yang kulakukan pasti jarang berhasilnya, tapi ini yang aku bisa lakukan saat diriku mulai meringkuk dan membenamkan kepala. Air mata itu masih terus aku biarkan mengalir begitu saja dan aku biarkan hatiku melakukan sebuah tindakan membiarkan ia terlukai juga aku membiarkan otakku terus memberikan serangan bertubi-tubi yang membuat luka hati dan jiwaku makin parah. Hanya ini yang bisa aku lakukan.

            Kring..... Kring….. Kring…… Ponselku berdering. Aku segera mencoba menguatkan diri untuk berhenti merasa takut. Sekuat yang aku bisa, aku mencoba menarik kepalaku agar berdiri tegak. Beruntung ponselku tak jauh dariku sehingga aku masih bisa meraihnya tanpa mengubah posisi dan kondisi dudukku yang meringkuk ketakutan ini.

Tumben banget ni HP masih hidup. Biasanya sepagi ini dia mati dan aku terlalu malas buat ngecash.”, gumanku sambil membuka sandi ponsel. Belum sempat aku angkat, panggilan telepon itu mati. Kikuk…… Notifikasi pesan WhatsApp yang segera masuk ketika aku mencoba menyalakan data. Segera aku membukanya.

Pagi Rina.”, isi pesan dari Trisna, seorang laki-laki yang membuatku merasa nyaman karena sikap baiknya.

Iya. Pagi Tris.”, jawab singkatku.

Gimana keadaanmu? Teleponku kok ga diangkat, Rin?”, tanyanya.

Maaf ya.”, jawabku.

Ayok lari-lari. Aku jemput kerumahmu ya. Buruan siap-siap.”, ajaknya.

Ok.”, jawab singkatku yang masih ngerasa ga karuan hingga jawab sekenanya.

Okay. J ”, bawabnya mengakhiri percakapan.

            Aku segera menyalakan senter ponsel dan segera menghilangkan air mataku dengan tisu basah yang ada di meja kamarku. Mengenakan kaus kaki dan pergi keluar kamar. Aku mengambil sepatu lalu pergi melewati ruang tamu diam-diam agar bunda ga memergoki kepergianku. Di teras aku memakai sepatu lalu menunggu Trisna datang menjemputku untuk lari-lari pagi ini. Tak lama aku menunggunya, dia segera tiba di depan rumahku. Aku bergegas menuju gerbang dan bergabung bersamanya.

Hai Rin. Kamu udah lama nunggu?”, sapanya.

Hai. Engga kok. Barusan selesai makai sepatu.”, jawabku sambil mengunci gerbang lagi. “Yuk.”, lanjutku usai mengunci gerbang.

Ayuk.”, sanbungnya.

            Aku dan Trisna kemudian lari-lari. Aku mengikutinya. Sesekali dia melambatkan kecepatannya dan berjalan cepat sambil menanyakan apakah aku lelah. Aku hanya menjawab dengan jawaban singkat “belum”. Sesekali aku berhenti menyaksikan indahnya fajar yang merekah dari ufuk timur.  Trisna mengikutiku. Rasanya aku seperti dikawal pribadi olehnya. Setelah beberapa saat aku ingin lari lagi dan belok menuju jalan yang mengarah rumah kami, tapi Trisna mencegahku.

Rin, berhenti dulu.”, cegahnya yang menghentikan langkahku.

Kenapa?”, tanyaku.

Ayok pergi ke suatu tempat dulu. Biar kamu refreshing. J ”, ucapnya.

Kemana?”, tanyaku.

Udah, ayo ikut dulu. Nanti kamu tahu.”,ucapnya. Namun aku masih saja terdiam di tempat karena mendadak aku takut kalau dia bakal macam-macam. “Tenang Rin, aku ga bakal aneh-aneh ke kamu. Janji. Demi Tuhan.”, ucapnya meyakinkanku.

Awas kamu ngebahayain aku.”, ancamku.

Engga. Janji.”, ucapnya.

            Aku segera mengikutinya. Berjalan disampingnya. Trisna mengajakku ke sebuah area yang aku tidak mengenalnya sama sekali meskipun daerah yang bertetangga cukup dekat. Kami menyususri jalan yang menghampar diantara persawahan yang luas. Aku merasa sedikit cemas kalau Trisna bakal berbuat aneh-aneh. Untuk jaga-jaga aku mengambil sebuah tongkat yang masih bagus dan sepertinya tidak terpakai. Aku takut jika nanti Trisna akan melakukan sesuatu kepadaku. Walaupun aku sangat nyaman dengannya, bagaimanapun Trisna tetap seorang laki-laki. Sesekali kami bertemu penduduk yang menyapa kami, lebih tepatnya menyapa Trisna. Dari sapaan mereka aku mengetahui ternyata Trisna punya kakek dan nenek yang tinggal di kampung ini, pantas saja dia tidak takut tersesat di daerah ini.

Arep ndek daleme mbah Tris? (mau kerumah kakek, Tris?)”, Tanya salah satu penduduk yang berpapasan dengan kami dan membuat kami menghentikan langkah.

“Enggih pak dhe. (iya pak dhe.)”, jawab Trisna. Sementara itu aku hanya mengangguk dan tersenyum karena tidak tahu harus berbicara apa sebab aku tidak paham apa bahasa yang mereka gunakan.

Iki sapa Tris? Adhikmu atau calon garwamu? (ini siapa Tris? Adhikmu atau calon isterimu?)”, Tanya orang yang disapa pak dhe oleh Trisna itu.

Sanes pak dhe, niki rencang kulo. (Bukan pak dhe, ini teman saya.)”, jawab Trisna.

Owalah. Sajane dadi garwamu yo cocok hlo Tris. (Owalah. Aslinya jadi isterimu juga cocok loh Tris.)”, sambung orang itu sambil tertawa.

Takdir Allah mawon pak dhe. (Takdir Allah saja pak dhe.)”, jawab Trisna sambil tersenyum. Kali ini sepertinya Trisna senyum malu.

Hlo awakmu hla yo seneng to. Wes ra usah ngapusi. Pak dhe tak ndek sawah sik. Kono ndang kenalke ambi mbah e banjur bapak ibu. (Tuh kan kamu sebenarnya juga suka. Udah jangan bohong. Pak dhe mau ke sawah dulu. Sana buruan kenalkan dengan kakek lalu ayah ibu.)”, sambung orang itu sambil menunjukkan gestur untuk meninggalkan kami.

Nggih pak dhe, pangestunipun. (Iya pak dhe, mohon restunya.)”, jawab Trisna.

            Setelah orang itu pergi, giliran aku yang ingin tahu apa yang tadi mereka bicarakan. Aku mulai memecahkan suasana dan membuka obrolan bersama Trisna yang memang sejak awal aku malas sekali untuk berbicara dengannya.

Tris, tadi itu siapa?”, tanyaku.

Itu pak dhe dari ibuku. Pak dhe itu paman, kakak laki-laki ibuku.”, Trisna menjelaskan.

Owalah. Tadi nanya apa beliau?”, tanyaku lagi.

Nanya apa mau kerumah kakekku. Aku jawab iya.”, ucapnya yang langsung kupotong.

Eh… Buset…. Apa kamu bilang? Mau kerumah kakekmu? Mau ngapain? Akum au balik pulang aja. Ga mau aku maen.”, potongku nyelonong.

Sebentar, aku belum selesai ngomong.”, jelasnya.

Maaf. Terus nanya apa lagi beliau?”, tanyaku.

Nanyain kamu itu pacarku bukan.”, jawab Trisna.

Terus?”, tanyaku beberapa saat kemudian seteah dia tidak menunjukkan tanda mau melanjutkan percakapan.

Terus akum au ajak kamu ke tempat di depan itu.”, jawab Trisna sambil nunjuk sebuah bukit yang sangat indah.

Banyak pepohonan dan bunga mekar yang warna-warni. Ditambah lagi tebingnya menghadap ke timur menunjukkan indahnya mentari pagi. Eksotis sekali. Membuatku seketika lupa dengan apa yang sebelumnya aku ingin ketahui.

Wah….. Indah banget Tris. Uwuuuu…….”, teriakku kegirangan dan berlari mendahului Trisna menuju bukit dengan seribu keindahan itu. Tongkatku kubuang gitu aja dan aku mendekati bunga-bunga itu lalu memotretnya juga mengambil satu bunga yang menurutku paling indah.

Rin, tunggu.”, ucap Trisna yang tidak aku gubris. Aku terus menaiki bukit itu menuju puncak. Ditengah perjalanan aku berhenti karena di depanku ada ulat yang bergelantungan sebab pohon tempatnya hingga tertiup angin.

Tris…… Ulatttt……… Aku takut…..”, teriakku. Trisna buru-burfu menyususlku.

Makanya kalau dibilang tunggu itu dengerin.”, ucapnya.

Aku tidak menggubris. Kami segera berjalan menaiki puncak. Masih saja aku asik memfoto ini itu sementara Trisna mencari jalan buat naik ke atas menuju tebih eksitis itu. Tak lama kami sampai di puncak. Menikmati mentari pagi yang hendak menyapa dunia. Cukup indah sekali. Tanpa kusadsri ternyata aku menjatuhkan air mata. Hal itu membuat Trisna bertanya-tanya.

Rin, kaya anak kecil banget ya kamu. Liat gini aja udah sampai nangis gitu.”, komentar Trisna.

Bukan Tris, bukan begitu.”, jawabku.

Kenapa? Teringat lagi?”, tanyanya.

Iya. Kenapa sih harus kamu yang ajak aku jalan-jalan? Aku pengen ayahku yang ajak aku jalan-jalan.”, jawabku.

Sudahlah. Yang penting sekarang kamu harus bahagia.”, sambungnya.

Aku ga tau sampai kapan kaya gini. Masih terus kumat. Masih terus kambuh. Aku lelah Tris. Kadang aku merasa ga ada siapapun disini yang bisa jadi tempat sekedar bersandar saat aku lelah atau sekedar jadi telinga saat aku ingin cerita. Kadang kalau aku kumat merasa kaya gitu aku pengen pergi dari dunia aja.”, sambungku sekenanya yang lagi-lagi curhat.

Hei. Kana da aku yang bisa jadi tempatmu curhat. Ada psikolog dan dokter yang sedang menanganimu juga terapismu. Ada kakak-kakakmu yang sudah mulai mengerti kamu. Ada dosen, ustadz/zh yang siap mendengrmu. Jangan merasa sendiri ya Rin.”, ucap Trisna menenangkanku.

Hemmhhhh……. Iya juga Tris…. Kamu benar…. Maafin aku. Makasih ya….”, ucapku yang diiringi hembusan nafas panjang dan senyum padanya.

“Iya. Sama-sama. Kamu itu hebat banget. Aku salut sama kamu tu,”, ucap Trisna.

            Aku hanya terdiam. Menatap mentari pagi dan menikmati lembutnya udara di pagi ini. Rasanya nyaman dan damai. Hingga akhirnya kalutku tadi pagi menghilang. Aku merasa sangat bahagia.

Tris….”, ucapku mencoba membuyarkannya dari membengong menatapku aneh tapi tetap saja dia tidak menggubris. “Tris?!”, ucapku meninggi.

Eh…. Iya…. Maaf.”, sambungnya gagap.

Kamu kenapa?”, tanyaku polos.

Ga pa pa. Kamu cantik Rin.”, ucapnya.

Hahaha…. Makasih Tris. Karena aku emang wanita makanya cantik, kalau aku laki-laki pasti ganteng lah.”, sambungku menanggapinya yang kukira bercanda.

Yah…. Kamu…. Bercanda Terus…. Tapi kamu kalau bahagia gini beneran cantik. Jangan depresi terus makanya.”, ucap Trisna yang seketika membuatku tertawa lepas. “Suatu hari kamu harus siap dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekarang ya Rin.”, ucapnya.

Maksudnya Tris?”, tanyaku.

Nanti kamu tahu sendiri. Semoga saja kamu selalu kuat. Aku yakin kok, kamu sangat kuat.”, ucapnya. Aku hanya terdiam. “Oh ya, kamu masih belum mau masuk islam lagi?”, tanyanya.

Entah. Aku masih bingung. Aku yakin Muhammad itu rasul, Aku yakin tuhan itu hanya satu. Tapi aku tidak yakin Tuhan itu adalah yang disebut “Allah” seperti yang di Al-Quran itu.”, jawabku

Kenapa?”, tanyanya.

Gak yakin aja kalau Tuhan yang Esa itu “Allah”.”, jawabku.

Apa yang bikin kamu ga percaya?”, tanya Trisna lagi.

Entahlah. Nanti aku pikirkan ulang Tris.”, jawabku.

Kamu mau ngobrol dengan seseorang. nanti kamu bisa dapat pencerahan dari beliau. Mungkin saja kalau aku yang bilang kamu ga akan percaya.”, tnyanya.

Mau. Tapi aku takut ketemu orang lain. Aku masih trauma.”, jawabku.

Nanti aku yang temenin kamu.”, jawab Trisna.

Okay.”, jawabku. Trisna hanya menjawab dengan senyum yang terlihat sangat bahagia. “Bahagia sekali sepertinya Tris.”, komenku.

Aku berharap kamu masuk islam lagi.”, jawabnya.

Kenapa?”, tanyaku.

Itu mungkin kebahagiaan terbesarku.”, jawabnya.

Makasih ya ga memberi tau siapapun kalau aku sekarang murtad dan ga memeluk agama apapun.”, ucapku.

Sama-sama.”, jawabnya. “Oh ya, kamu jangan galak-galak sama ortu ya Rin. Kasian mereka. Aku tau mereka jahat sama kamu, tapi, kamu harus tetap jadi orang baik.”, sambung Trisna.

Maaf Tris, hanya segitu aku kuat bertahan.”, sambungku

Ga pa pa. Yang penting terus berusaha ya. Aku sudah bangga kamu bisa sebaik ini. Jangan berhenti berusaha ya Rin. Aku yakin kamu bisa.”, jawab Trisna. “O iya, tadi pagi kumat lagi ya?”, tanyanya.

Maaf.”, jawabku sambil tertunduk menyesal.

Ga pa pa Rin. Aku paham kok. Lain kali kalau kenapa-kenapa jangan takut hubungi aku atau ibuku ya.”, ucapnya yang kebetulan ibunya dia adalah pendamping utamaku dalam menjalani pengobatan mental yang aku alami..

            Aku hanya mengangguk dan tersenyum sebagai ungkapan teria kasih. Matahari sudah terbit sangat tinggi. Aku dan Trisna menuruni bukit itu. Trisna memaksa untuk mampir kerumah kakeknya yang ternyata kosong karena masih diluar kota. Dia ternyata hanya mematikan lampu di rumah itu. Akhirnya kami segera pulang.




:):):)



Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Tolong sampaikan di kolom komentar atau kirim E-mail riwayatnaniklestari@gmail.com. Terima kasih. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar