Ucapan
Selamat Pagiku
Allahhuakhbar 2x. Ashadualla illa ha illa
Allah. Ashaduanna Muhammadar rasulullah. Khaiya’aalassholah. Khaiya’alalfalah.
Qodqomadissholah 2x. Allahuakhbar 2x. Laillaha illa Allah. Uahhhhh…….
Kantuk ini masih saja mengganduli tubuhku yang reyot diatas Kasur. Selimut ini
kubenahi lagi agar menutupi sempurna tubuhku. Mataku manja terpejam diiringi
ringkukan tubuhku yang kedinginan.
“Rin…..”,
sapa bunda dari luar pintu kamarku. “Rina…….”,
ulang bunda. Tok…. Tok…. Tok….
“Uh….
Berisik sekali sih.”, gerutuku sambil sempoyongan menuju pintu untuk
membukanya. “Iya bunda, kenapa?”,
tanyaku sambil menguap.
“Masih
juga nanya kenapa. Sudah fajar. Ayo bangun subuh.”, ajak bunda.
“Ah….
Males bunda.”, sambungku ceplos tanpa peduli sopan santun.
“Nak,
kamu sudah besar nak. Sudah baligh. Ayo sholat!”, nada bunda agak meninggi.
“Bodo
amat.”, jawab ketusku sambil membanting pintu dan menguncinya lagi.
Aku
kembali menuju tempat tidurku dan kembali melemparkan selimut untuk menutupi
tubuhku yang kedinginan. Aku mulai menutup bagian mukaku dan bersiap untuk
tidur. Mataku terpejam, mencoba tidak memedulikan apapun yang terjadi
sebelumnya. Mencoba menganggapnya ahnya sebuah mimpi buruk saja. Tapi aku tak
lagi bisa tidur. Rasanya gelisah. Entah kenapa hati ini kembali merasa tidak
enak. Mataku terpejam namun otakku berlari kencang. Memutar segala scenario,
rekaman dan banyak video yang sangat mencekam.
“Ahhh……
Sial…..”, gerutuku di dalam selimut.
Aku
segera bangun. Duduk menatap depan dengan penuh kekosongan. Tak ada apapun yang
tertangkap oleh retina mata. Bukan hanya karena tatapanku kosong untuk hari
ini, tapi memang kondisi kamarku dengan keadaan lampu mati memang turut membuat
suasana semakin kosong. Hanya gelap yang memenuhi dan putaran dari berbagai
rekaman, video dan scenario-skenaio yang akhirnya membuatku menjadi tertahan
nafas. Tanpa sadar, airmata ini mengalir deras. Rasa takut yang begitu mencekam
perlahan menyelimuti kakiku. Dinginnya seperti membuat tubuhku membeku.
Meringkuk
dalam duduk dengan membenamkaan kepala adalah cara terbaik yang bisa aku
lakukan untuk mengurangi sakit yang sangat keras dari jiwaku. Aku tahu jiwaku
meronta-ronta mengharapkan sebuah pelukan atau sebauh obat yang bisa
menyembuhkannya. Tapi, hanya memeluk diriku dengan meringkuk yang bisa aku
lakukan. Mengajaknya ngobrol pelan-pelan dan berusaha menenangkannya. Meski aku
tahu apa yang kulakukan pasti jarang berhasilnya, tapi ini yang aku bisa
lakukan saat diriku mulai meringkuk dan membenamkan kepala. Air mata itu masih
terus aku biarkan mengalir begitu saja dan aku biarkan hatiku melakukan sebuah
tindakan membiarkan ia terlukai juga aku membiarkan otakku terus memberikan
serangan bertubi-tubi yang membuat luka hati dan jiwaku makin parah. Hanya ini
yang bisa aku lakukan.
Kring.....
Kring….. Kring…… Ponselku berdering. Aku segera mencoba menguatkan diri untuk
berhenti merasa takut. Sekuat yang aku bisa, aku mencoba menarik kepalaku agar
berdiri tegak. Beruntung ponselku tak jauh dariku sehingga aku masih bisa
meraihnya tanpa mengubah posisi dan kondisi dudukku yang meringkuk ketakutan
ini.
“Tumben
banget ni HP masih hidup. Biasanya sepagi ini dia mati dan aku terlalu malas
buat ngecash.”, gumanku sambil membuka sandi ponsel. Belum sempat aku
angkat, panggilan telepon itu mati. Kikuk…… Notifikasi pesan WhatsApp yang
segera masuk ketika aku mencoba menyalakan data. Segera aku membukanya.
“Pagi
Rina.”, isi pesan dari Trisna, seorang laki-laki yang membuatku merasa
nyaman karena sikap baiknya.
“Iya.
Pagi Tris.”, jawab singkatku.
“Gimana
keadaanmu? Teleponku kok ga diangkat, Rin?”, tanyanya.
“Maaf
ya.”, jawabku.
“Ayok
lari-lari. Aku jemput kerumahmu ya. Buruan siap-siap.”, ajaknya.
“Ok.”,
jawab singkatku yang masih ngerasa ga karuan hingga jawab sekenanya.
“Okay.
J ”, bawabnya
mengakhiri percakapan.
Aku
segera menyalakan senter ponsel dan segera menghilangkan air mataku dengan tisu
basah yang ada di meja kamarku. Mengenakan kaus kaki dan pergi keluar kamar. Aku
mengambil sepatu lalu pergi melewati ruang tamu diam-diam agar bunda ga
memergoki kepergianku. Di teras aku memakai sepatu lalu menunggu Trisna datang
menjemputku untuk lari-lari pagi ini. Tak lama aku menunggunya, dia segera tiba
di depan rumahku. Aku bergegas menuju gerbang dan bergabung bersamanya.
“Hai
Rin. Kamu udah lama nunggu?”, sapanya.
“Hai.
Engga kok. Barusan selesai makai sepatu.”, jawabku sambil mengunci gerbang
lagi. “Yuk.”, lanjutku usai mengunci
gerbang.
“Ayuk.”,
sanbungnya.
Aku
dan Trisna kemudian lari-lari. Aku mengikutinya. Sesekali dia melambatkan
kecepatannya dan berjalan cepat sambil menanyakan apakah aku lelah. Aku hanya
menjawab dengan jawaban singkat “belum”. Sesekali aku berhenti menyaksikan
indahnya fajar yang merekah dari ufuk timur.
Trisna mengikutiku. Rasanya aku seperti dikawal pribadi olehnya. Setelah
beberapa saat aku ingin lari lagi dan belok menuju jalan yang mengarah rumah
kami, tapi Trisna mencegahku.
“Rin,
berhenti dulu.”, cegahnya yang menghentikan langkahku.
“Kenapa?”,
tanyaku.
“Ayok
pergi ke suatu tempat dulu. Biar kamu refreshing. J ”, ucapnya.
“Kemana?”,
tanyaku.
“Udah,
ayo ikut dulu. Nanti kamu tahu.”,ucapnya. Namun aku masih saja terdiam di
tempat karena mendadak aku takut kalau dia bakal macam-macam. “Tenang Rin, aku ga bakal aneh-aneh ke kamu.
Janji. Demi Tuhan.”, ucapnya meyakinkanku.
“Awas
kamu ngebahayain aku.”, ancamku.
“Engga.
Janji.”, ucapnya.
Aku
segera mengikutinya. Berjalan disampingnya. Trisna mengajakku ke sebuah area
yang aku tidak mengenalnya sama sekali meskipun daerah yang bertetangga cukup
dekat. Kami menyususri jalan yang menghampar diantara persawahan yang luas. Aku
merasa sedikit cemas kalau Trisna bakal berbuat aneh-aneh. Untuk jaga-jaga aku
mengambil sebuah tongkat yang masih bagus dan sepertinya tidak terpakai. Aku
takut jika nanti Trisna akan melakukan sesuatu kepadaku. Walaupun aku sangat
nyaman dengannya, bagaimanapun Trisna tetap seorang laki-laki. Sesekali kami
bertemu penduduk yang menyapa kami, lebih tepatnya menyapa Trisna. Dari sapaan
mereka aku mengetahui ternyata Trisna punya kakek dan nenek yang tinggal di
kampung ini, pantas saja dia tidak takut tersesat di daerah ini.
“Arep
ndek daleme mbah Tris? (mau kerumah kakek, Tris?)”, Tanya salah satu
penduduk yang berpapasan dengan kami dan membuat kami menghentikan langkah.
“Enggih
pak dhe. (iya pak dhe.)”, jawab Trisna. Sementara itu aku
hanya mengangguk dan tersenyum karena tidak tahu harus berbicara apa sebab aku
tidak paham apa bahasa yang mereka gunakan.
“Iki
sapa Tris? Adhikmu atau calon garwamu? (ini siapa Tris? Adhikmu atau calon
isterimu?)”, Tanya orang yang disapa pak dhe oleh Trisna itu.
“Sanes
pak dhe, niki rencang kulo. (Bukan pak dhe, ini teman saya.)”, jawab Trisna.
“Owalah.
Sajane dadi garwamu yo cocok hlo Tris. (Owalah. Aslinya jadi isterimu juga
cocok loh Tris.)”, sambung orang itu sambil tertawa.
“Takdir
Allah mawon pak dhe. (Takdir Allah saja pak dhe.)”, jawab Trisna sambil
tersenyum. Kali ini sepertinya Trisna senyum malu.
“Hlo
awakmu hla yo seneng to. Wes ra usah ngapusi. Pak dhe tak ndek sawah sik. Kono
ndang kenalke ambi mbah e banjur bapak ibu. (Tuh kan kamu sebenarnya juga suka.
Udah jangan bohong. Pak dhe mau ke sawah dulu. Sana buruan kenalkan dengan
kakek lalu ayah ibu.)”, sambung orang itu sambil menunjukkan gestur untuk
meninggalkan kami.
“Nggih
pak dhe, pangestunipun. (Iya pak dhe, mohon restunya.)”, jawab Trisna.
Setelah
orang itu pergi, giliran aku yang ingin tahu apa yang tadi mereka bicarakan. Aku
mulai memecahkan suasana dan membuka obrolan bersama Trisna yang memang sejak
awal aku malas sekali untuk berbicara dengannya.
“Tris,
tadi itu siapa?”, tanyaku.
“Itu
pak dhe dari ibuku. Pak dhe itu paman, kakak laki-laki ibuku.”, Trisna
menjelaskan.
“Owalah.
Tadi nanya apa beliau?”, tanyaku lagi.
“Nanya
apa mau kerumah kakekku. Aku jawab iya.”, ucapnya yang langsung kupotong.
“Eh…
Buset…. Apa kamu bilang? Mau kerumah kakekmu? Mau ngapain? Akum au balik pulang
aja. Ga mau aku maen.”, potongku nyelonong.
“Sebentar,
aku belum selesai ngomong.”, jelasnya.
“Maaf.
Terus nanya apa lagi beliau?”, tanyaku.
“Nanyain
kamu itu pacarku bukan.”, jawab Trisna.
“Terus?”,
tanyaku beberapa saat kemudian seteah dia tidak menunjukkan tanda mau
melanjutkan percakapan.
“Terus
akum au ajak kamu ke tempat di depan itu.”, jawab Trisna sambil nunjuk
sebuah bukit yang sangat indah.
Banyak pepohonan dan bunga mekar yang
warna-warni. Ditambah lagi tebingnya menghadap ke timur menunjukkan indahnya
mentari pagi. Eksotis sekali. Membuatku seketika lupa dengan apa yang
sebelumnya aku ingin ketahui.
“Wah…..
Indah banget Tris. Uwuuuu…….”, teriakku kegirangan dan berlari mendahului
Trisna menuju bukit dengan seribu keindahan itu. Tongkatku kubuang gitu aja dan
aku mendekati bunga-bunga itu lalu memotretnya juga mengambil satu bunga yang
menurutku paling indah.
“Rin,
tunggu.”, ucap Trisna yang tidak aku gubris. Aku terus menaiki bukit itu
menuju puncak. Ditengah perjalanan aku berhenti karena di depanku ada ulat yang
bergelantungan sebab pohon tempatnya hingga tertiup angin.
“Tris……
Ulatttt……… Aku takut…..”, teriakku. Trisna buru-burfu menyususlku.
“Makanya
kalau dibilang tunggu itu dengerin.”, ucapnya.
Aku tidak menggubris. Kami segera
berjalan menaiki puncak. Masih saja aku asik memfoto ini itu sementara Trisna
mencari jalan buat naik ke atas menuju tebih eksitis itu. Tak lama kami sampai
di puncak. Menikmati mentari pagi yang hendak menyapa dunia. Cukup indah
sekali. Tanpa kusadsri ternyata aku menjatuhkan air mata. Hal itu membuat
Trisna bertanya-tanya.
“Rin,
kaya anak kecil banget ya kamu. Liat gini aja udah sampai nangis gitu.”, komentar
Trisna.
“Bukan
Tris, bukan begitu.”, jawabku.
“Kenapa?
Teringat lagi?”, tanyanya.
“Iya.
Kenapa sih harus kamu yang ajak aku jalan-jalan? Aku pengen ayahku yang ajak
aku jalan-jalan.”, jawabku.
“Sudahlah.
Yang penting sekarang kamu harus bahagia.”, sambungnya.
“Aku
ga tau sampai kapan kaya gini. Masih terus kumat. Masih terus kambuh. Aku lelah
Tris. Kadang aku merasa ga ada siapapun disini yang bisa jadi tempat sekedar
bersandar saat aku lelah atau sekedar jadi telinga saat aku ingin cerita. Kadang
kalau aku kumat merasa kaya gitu aku pengen pergi dari dunia aja.”,
sambungku sekenanya yang lagi-lagi curhat.
“Hei.
Kana da aku yang bisa jadi tempatmu curhat. Ada psikolog dan dokter yang sedang
menanganimu juga terapismu. Ada kakak-kakakmu yang sudah mulai mengerti kamu. Ada
dosen, ustadz/zh yang siap mendengrmu. Jangan merasa sendiri ya Rin.”, ucap
Trisna menenangkanku.
“Hemmhhhh…….
Iya juga Tris…. Kamu benar…. Maafin aku. Makasih ya….”, ucapku yang
diiringi hembusan nafas panjang dan senyum padanya.
“Iya. Sama-sama. Kamu itu hebat
banget. Aku salut sama kamu tu,”, ucap Trisna.
Aku
hanya terdiam. Menatap mentari pagi dan menikmati lembutnya udara di pagi ini. Rasanya
nyaman dan damai. Hingga akhirnya kalutku tadi pagi menghilang. Aku merasa
sangat bahagia.
“Tris….”,
ucapku mencoba membuyarkannya dari membengong menatapku aneh tapi tetap saja
dia tidak menggubris. “Tris?!”,
ucapku meninggi.
“Eh….
Iya…. Maaf.”, sambungnya gagap.
“Kamu
kenapa?”, tanyaku polos.
“Ga
pa pa. Kamu cantik Rin.”, ucapnya.
“Hahaha….
Makasih Tris. Karena aku emang wanita makanya cantik, kalau aku laki-laki pasti
ganteng lah.”, sambungku menanggapinya yang kukira bercanda.
“Yah….
Kamu…. Bercanda Terus…. Tapi kamu kalau bahagia gini beneran cantik. Jangan
depresi terus makanya.”, ucap Trisna yang seketika membuatku tertawa lepas.
“Suatu hari kamu harus siap dengan
sesuatu yang jauh lebih besar dari sekarang ya Rin.”, ucapnya.
“Maksudnya
Tris?”, tanyaku.
“Nanti
kamu tahu sendiri. Semoga saja kamu selalu kuat. Aku yakin kok, kamu sangat
kuat.”, ucapnya. Aku hanya terdiam. “Oh
ya, kamu masih belum mau masuk islam lagi?”, tanyanya.
“Entah.
Aku masih bingung. Aku yakin Muhammad itu rasul, Aku yakin tuhan itu hanya
satu. Tapi aku tidak yakin Tuhan itu adalah yang disebut “Allah” seperti yang
di Al-Quran itu.”, jawabku
“Kenapa?”,
tanyanya.
“Gak
yakin aja kalau Tuhan yang Esa itu “Allah”.”, jawabku.
“Apa
yang bikin kamu ga percaya?”, tanya Trisna lagi.
“Entahlah.
Nanti aku pikirkan ulang Tris.”, jawabku.
“Kamu
mau ngobrol dengan seseorang. nanti kamu bisa dapat pencerahan dari beliau. Mungkin
saja kalau aku yang bilang kamu ga akan percaya.”, tnyanya.
“Mau.
Tapi aku takut ketemu orang lain. Aku masih trauma.”, jawabku.
“Nanti
aku yang temenin kamu.”, jawab Trisna.
“Okay.”,
jawabku. Trisna hanya menjawab dengan senyum yang terlihat sangat bahagia. “Bahagia sekali sepertinya Tris.”,
komenku.
“Aku
berharap kamu masuk islam lagi.”, jawabnya.
“Kenapa?”,
tanyaku.
“Itu
mungkin kebahagiaan terbesarku.”, jawabnya.
“Makasih
ya ga memberi tau siapapun kalau aku sekarang murtad dan ga memeluk agama
apapun.”, ucapku.
“Sama-sama.”,
jawabnya. “Oh ya, kamu jangan galak-galak
sama ortu ya Rin. Kasian mereka. Aku tau mereka jahat sama kamu, tapi, kamu
harus tetap jadi orang baik.”, sambung Trisna.
“Maaf
Tris, hanya segitu aku kuat bertahan.”, sambungku
“Ga
pa pa. Yang penting terus berusaha ya. Aku sudah bangga kamu bisa sebaik ini. Jangan
berhenti berusaha ya Rin. Aku yakin kamu bisa.”, jawab Trisna. “O iya, tadi pagi kumat lagi ya?”,
tanyanya.
“Maaf.”,
jawabku sambil tertunduk menyesal.
“Ga
pa pa Rin. Aku paham kok. Lain kali kalau kenapa-kenapa jangan takut hubungi
aku atau ibuku ya.”, ucapnya yang kebetulan ibunya dia adalah pendamping
utamaku dalam menjalani pengobatan mental yang aku alami..
Aku
hanya mengangguk dan tersenyum sebagai ungkapan teria kasih. Matahari sudah
terbit sangat tinggi. Aku dan Trisna menuruni bukit itu. Trisna memaksa untuk
mampir kerumah kakeknya yang ternyata kosong karena masih diluar kota. Dia
ternyata hanya mematikan lampu di rumah itu. Akhirnya kami segera pulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar