Pasca adalah Saat yang Teramat Berat
Thok…..
Thok….. Thok…… Mataku terbuka menganga. Alhamdulillahhilladi
ahyana ba’dama amatana wailaihinnusur. Itu ucapan seketika yang keluar dari
mulutkku manakala mataku terbuka dengan cepat. Nyawaku terkumpul dengan gesit
dan membuatku sepenuhnya sadar. Kasurku bergoyang hebat. Aku segera meloncat,
menuruni Kasur, membuka pintu kamar dengan gesit dan lari secepat kilat menuju
pintu utama dan gesit membukanya lalu lari keluar. Ayah dan ibuku tak berapa
lama juga menyusulku keluar. Ternyata dugaanku salah bahwa mereka sudah diluar
lebih dulu. Setelah kira-kira lima menit berlalu, goyangan yang kurasakan itu
mereda dan aku kembali masuk kedalam rumah. Mataku menyapu jam dinding yang
menunjukkan pukul 02.55 dini hari.
“Ngendi ki sing amblong yo?”, tanya ibuku.
“Daerah sekitar kene pasti. Laut kidul kui
sajake. Tapi rmboh tepate ngendi.”, sambut ayahku.
“Aku balik bobook ke kamar ya bun.”,
pintaku ke bunda.
“Iya. Sana balik tidur. Jangan kebablasan
buat shubuh tapi ya Rin.”, sambung bundaku.
Aku
langsug masuk kamar lagi. Memosisikan tubuh senyaman mungkin diatas ranjang,
memasang selimut dan pergi tidur. Pukul 05.30 pagi hari aku bangun. Ya, memang
aku sengaja bangun agak siang karena aku memang tidak lagi Islam -meskipun
fakta ini tidak diketahui keluargaku- dan alasan lainnya karena tubuhku terasa
lelah sekali. Padahal aku tidak bekerja cukup keras. Sepertinya ini sinyal
sebagai tanda bahwa aku memang benar-benar lelah, bukan secara fisik melainkan
secara psikologis. Fakta ini sudah terkonfirmasi dengan seringnya aku berurusan
dengan tenaga ahli dalam bidang kejiwaan untuk menjalani pengobatan.
Dalam
keadaan sepagi ini yang seharusnya aku bersemangat dan bergairah untuk
menyambut hidup hari ini, aku malah harus menahan kegusaran hati yang luar
biasa dan menjinakkan jiwaku yang kembali gusar. Lagi-lagi sebuah hal sepele
yang sebenarnya wajar saja, namun karena mental illness-ku dan jiwa insecure-ku
membuatku harus merasa baper yang sangat mendalam.
“Ih…. Rian kemana sih. Dia hlo lihat story
medsosku. Tapi kok dia ga baca atau jawab pesanku ya? Seburuk itukah aku harus
dia buang? Apakah sakitku ini harus membuat orang yang sudah aku percaya, yaitu
Rian menjauhiku dan tidak menganggapku ada? Ah, yaudah deh. Mungkin benar aku
tidak berharga danga berguna lahir ke dunia.”, gumanku di pagi hari yang
membuatku lebih dalamlagi merasakan sakit yang seharusnya tidak aku rasakan. Seharusnya
aku memang tidak menghubungi Rian. Seharusnya aku tidak pernah memberi tahu dia
kalau aku sakit. Biar dia ga membuangku. Setidaknya seperti itulah yang
memenuhi pikiranku dan membuatku menyalahkan diriku sendiri.
Aku
sudah tidak tahan lagi menahan luka yang menggores lebih dalam lagi dan lagi.
Aku lebih memilih selancar di media
sosial lain yang disana aku hanya memfollow
orang-orang yang tidak aku kenal. Aku mulai menggeser layarku sedikit demi
sedikit. Membaca postingan mereka. Sesekali aku membuka jendela browser
tempatku selancar informasi mengenai penanganan pasca bunuh diri. Sejak
beberapa hari lalu aku gagal membaca isi ulasan di laman browser tersebut,
namun akhirnya kali ini berhasil aku selesaikan. Tapi aku tak berhasil paham
maksudnya karena aku merasa belum kuat untuk memahaminya. Aku tidak berani
memaksakan diriku. Aku lebih memilih membuka media sosialku itu dan kembali
membaca-baca sebuah postingan dari seseorang.
“Orang jika sedang lapang, memiliki kekayaan
dan kekuasaan pasti banyaklah temannya tapi jika sedang sempit, miskin dan jatuh
pasti sedikitlah temannya.”, demikianlah isi sebuah postingan yang aku
baca.
“Ah, benar sekali yang dikutip dalam
postingan ini. Dulu waktu ga ada yang tahu kalau aku sakit dan waktu itu aku
masih bisa jadi bintang juara di sekolahku, banyak orang yang bersikap baik
sama aku. Berusaha mendekatiku dan mau jadi temanku. Ya walaupun tujuan utama
mereka bisa kutebak, yakni memanfaatkanku buat nyontek jawaban kalau ada tugas
maupun ujian. Tapi, sekarang, saat sakitku benar-benar parah dan mereka tahu
aku sakit, mereka meninggalkanku. Tak pernah menganggapku. Status teman hanya
sekedar tahu namanya aja, tapi tak pernah mau bener-bener berteman dekat sama
aku.”, ucapku pada diriku sendiri yang kemudian diiringi air mata yang
membanjiri wajahku. Aku segera menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi,
merentangkan tanganku, menghirup udara pagi yang menembus kamarku dan berusaha
payah melukis segaris senyum dengan bibirku.
“Ya. Mungkin memang seperti ini garis hidup
yang harus aku lalui. Sendirian. Diasingkan. Dihindari dan dijauhi karena aku
sakit mental, depresi dan beberapa kali mencoba bunuh diri. Tapi, yasudahlah.
Biarkan mereka membuangku dari kehidupan sosial manusia. Biarkan tidak ada satu
orang teman dan sahabatku dari kalangan manusia. Aku sudah menemukan sahabat
setia dan teman sejati, yakni Alkitab dan aku sudah menemukan keluarga dan tempat
tinggal paling nyaman dan paling hangat, yakni alam semesta.”, ucapku
menenangkan diriku sendiri dan membesarkan diriku.
“Biarlah Rian tidak lagi menganggapku dengan
dia mengabaikan pesan-pesanku walaupun aku sangat kecewa telah mempercayainya.
Aku sangat bodoh telah bercerita padanya. Biarlah ini menjadi caraku bersikap
kedepannya bahwa aku harus tetap merahasiakan sakitku ini dari publik. Biarlah
aku menjadi orang yang selalu aneh dan misterius. Dunia tak perlu kenal siapa
diriku. Tanpa Rian aku harus tetap bisa bersemangat melanjutkan hidupku. Tanpa
Rian aku juga harus merasa bahagia. Gapapa sendirian ga punya teman dan
sahabat, yang penting aku harus tetap bertahan dan berjuang. Setidaknya aku
harus berjuang tetap hidup dan mati dengan cara sewajarnya, tidak bunuh diri.
Meski perjuangan ini harus aku lakukan sendirian, tanpa support dari Rian,
sahabat kepercayaanku lagi.”, ucapku pada diriku sendiri untuk menguatkan
diriku yang teramat lemah dan hancur.
“Aku orang yang bertanggung jawab.
Mempertahankan nyawaku sampai takdir kematianku yang sudah ditetapkan. Aku
harus bisa menjalani masa pemulihan pasca percobaan bunuh diri ini meski sendirian.
Aku pasti bisa melewati ini semua. Biarlah aku sendirian, aku yakin suatu hari
aku akan menemukan seorang mentor yang mampu membantuku menjadi orang dan aku
akan menemukan seseorang yang benar-benar mampu menerimaku dengan segala
penyakit mental dan segala masalah serta vonis sosial yang aku terima saat ini.
Toh aku juga tidak perlu khawatir soal makanan dan pasangan hidup. Makanan, aku
bisa memakan apapun dari alam. Pasangan hidup, belum tentu usiaku di dunia ini
akan lama lagi. Jadi aku hanya perlu focus memepertahankan nyawaku agar tidak
mati bunuh diri. Aku yakin aku bisa kuat seorang diri. Aku harus bisa menorah ebuah
tulisan. Mungkin itu yang akan aku lakukan saat ini untuk mengisi waktuku dan
bercerita tanpa ada telinga yang mendengarkan. Setidaknya itu cukup membuatku
merasa berhasil memanfaatkan waktu.”, ucapku sambil tersenyum dan air mata
menetes karena merasa sakit sekaligus merasa sedikit bahagia.
Waktu
terus berjalan. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan dua jam penuh. Aku segera
keluar kamar. Ya, seperti biasa. Di rumah yang saat ini aku tinggali, setiap
hari aku hanya mendapati kedua orang tuaku yang sedang sibuk dengan diri mereka
sendiri. Ibuku sibuk memasak. Ayahku sibuk merenung. Taka da obrolan hangat
keluarga disini. Hal yang membuatku merasa tak memiliki keluarga dan tempat
pulang. Hal yang membuatku merasa yatim piatu yang palsu. Hal yang membuatku
sadar bahwa aku tak punya teman dan tak punya sahabat yang mau menerimaku
dengan tulus. Hal yang selalu membuatku ingin lari dari kehidupan, mati, bunuh
diri dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Aku meneruskan langkah. Menuju
serambi timur rumah. Menyaksikan matahari yang menyapaku dengan kelembutan. Aku
tersenyum menyambutnya juga.
“Stop. Jangan berpikir bahwa bunuh diri
adalah jalan keluar Rin! Itu memang membuatmu selesai dengan semua penderitaanmu
saat ini. Tapi, itu adalah kesia-siaan palsu. Kamu sudah pahan dan yakin bahwa iblis
itu ada. Hati-hatilah terhadap iming-iming kebahagiaan dari iblis dengan cara
bunuh diri. Please ya Rin, tolong tetaplah sadar. Kita pasti bisa hidup sampai batas
waktu yang ditentukan.”, kataku pada diriku sendiri sambil menarik napas dalam.
Aku
kembali masuk kedalam rumah. Mengambil headset dan ponselku. Memutar music kesayanganku
dan kembali ke serambi timur rumah. Aku terus berjalan menuju selatan,
mengambil air dengan ember lalu menyirami tanaman di halaman rumahku. Aktifitas
singkat, namun sangat cukup buat mengusir perasaan tidak baikku. Usai menyiram
tanaman ini, ada sebuah kebahagiaan yang aku rasakan. Menikmati hari dengan
melakukan aktifitas yang aku mau. Satu hal yang sebenarnya aku inginkan, aku
butuh support sistem pasca depresi dan percobaan bunuh diriku. Aku butuh
lingkungan baru. Aku butuh seseorang yang mau sepenuhnya kuterima dengan keadaanku
yang menderita sebuah penyakit. Aku berharap Tuhan memberiku kekuatan untuk
tetap bergerak dan bertahan walau aku sendirian.
***
Terima kasih sudah
membaca. Kritik yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan tulisan
selanjutnya. Kirim di komentar atau E-mail riwayatnaniklestari@gmail.com J