Translate

Senin, 22 Juni 2020

Pasca adalah Saat yang Teramat Berat (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hiudpku)

Pasca adalah Saat yang Teramat Berat

            Thok….. Thok….. Thok…… Mataku terbuka menganga. Alhamdulillahhilladi ahyana ba’dama amatana wailaihinnusur. Itu ucapan seketika yang keluar dari mulutkku manakala mataku terbuka dengan cepat. Nyawaku terkumpul dengan gesit dan membuatku sepenuhnya sadar. Kasurku bergoyang hebat. Aku segera meloncat, menuruni Kasur, membuka pintu kamar dengan gesit dan lari secepat kilat menuju pintu utama dan gesit membukanya lalu lari keluar. Ayah dan ibuku tak berapa lama juga menyusulku keluar. Ternyata dugaanku salah bahwa mereka sudah diluar lebih dulu. Setelah kira-kira lima menit berlalu, goyangan yang kurasakan itu mereda dan aku kembali masuk kedalam rumah. Mataku menyapu jam dinding yang menunjukkan pukul 02.55 dini hari.

            Ngendi ki sing amblong yo?”, tanya ibuku.

            Daerah sekitar kene pasti. Laut kidul kui sajake. Tapi rmboh tepate ngendi.”, sambut ayahku.

            Aku balik bobook ke kamar ya bun.”, pintaku ke bunda.

            Iya. Sana balik tidur. Jangan kebablasan buat shubuh tapi ya Rin.”, sambung bundaku.

            Aku langsug masuk kamar lagi. Memosisikan tubuh senyaman mungkin diatas ranjang, memasang selimut dan pergi tidur. Pukul 05.30 pagi hari aku bangun. Ya, memang aku sengaja bangun agak siang karena aku memang tidak lagi Islam -meskipun fakta ini tidak diketahui keluargaku- dan alasan lainnya karena tubuhku terasa lelah sekali. Padahal aku tidak bekerja cukup keras. Sepertinya ini sinyal sebagai tanda bahwa aku memang benar-benar lelah, bukan secara fisik melainkan secara psikologis. Fakta ini sudah terkonfirmasi dengan seringnya aku berurusan dengan tenaga ahli dalam bidang kejiwaan untuk menjalani pengobatan.

            Dalam keadaan sepagi ini yang seharusnya aku bersemangat dan bergairah untuk menyambut hidup hari ini, aku malah harus menahan kegusaran hati yang luar biasa dan menjinakkan jiwaku yang kembali gusar. Lagi-lagi sebuah hal sepele yang sebenarnya wajar saja, namun karena mental illness-ku dan jiwa insecure-ku membuatku harus merasa baper yang sangat mendalam.

            Ih…. Rian kemana sih. Dia hlo lihat story medsosku. Tapi kok dia ga baca atau jawab pesanku ya? Seburuk itukah aku harus dia buang? Apakah sakitku ini harus membuat orang yang sudah aku percaya, yaitu Rian menjauhiku dan tidak menganggapku ada? Ah, yaudah deh. Mungkin benar aku tidak berharga danga berguna lahir ke dunia.”, gumanku di pagi hari yang membuatku lebih dalamlagi merasakan sakit yang seharusnya tidak aku rasakan. Seharusnya aku memang tidak menghubungi Rian. Seharusnya aku tidak pernah memberi tahu dia kalau aku sakit. Biar dia ga membuangku. Setidaknya seperti itulah yang memenuhi pikiranku dan membuatku menyalahkan diriku sendiri.

            Aku sudah tidak tahan lagi menahan luka yang menggores lebih dalam lagi dan lagi. Aku lebih memilih selancar  di media sosial lain yang disana aku hanya memfollow orang-orang yang tidak aku kenal. Aku mulai menggeser layarku sedikit demi sedikit. Membaca postingan mereka. Sesekali aku membuka jendela browser tempatku selancar informasi mengenai penanganan pasca bunuh diri. Sejak beberapa hari lalu aku gagal membaca isi ulasan di laman browser tersebut, namun akhirnya kali ini berhasil aku selesaikan. Tapi aku tak berhasil paham maksudnya karena aku merasa belum kuat untuk memahaminya. Aku tidak berani memaksakan diriku. Aku lebih memilih membuka media sosialku itu dan kembali membaca-baca sebuah postingan dari seseorang.

            Orang jika sedang lapang, memiliki kekayaan dan kekuasaan pasti banyaklah temannya tapi jika sedang sempit, miskin dan jatuh pasti sedikitlah temannya.”, demikianlah isi sebuah postingan yang aku baca.

            Ah, benar sekali yang dikutip dalam postingan ini. Dulu waktu ga ada yang tahu kalau aku sakit dan waktu itu aku masih bisa jadi bintang juara di sekolahku, banyak orang yang bersikap baik sama aku. Berusaha mendekatiku dan mau jadi temanku. Ya walaupun tujuan utama mereka bisa kutebak, yakni memanfaatkanku buat nyontek jawaban kalau ada tugas maupun ujian. Tapi, sekarang, saat sakitku benar-benar parah dan mereka tahu aku sakit, mereka meninggalkanku. Tak pernah menganggapku. Status teman hanya sekedar tahu namanya aja, tapi tak pernah mau bener-bener berteman dekat sama aku.”, ucapku pada diriku sendiri yang kemudian diiringi air mata yang membanjiri wajahku. Aku segera menyandarkan tubuhku ke sandaran kursi, merentangkan tanganku, menghirup udara pagi yang menembus kamarku dan berusaha payah melukis segaris senyum dengan bibirku.

            Ya. Mungkin memang seperti ini garis hidup yang harus aku lalui. Sendirian. Diasingkan. Dihindari dan dijauhi karena aku sakit mental, depresi dan beberapa kali mencoba bunuh diri. Tapi, yasudahlah. Biarkan mereka membuangku dari kehidupan sosial manusia. Biarkan tidak ada satu orang teman dan sahabatku dari kalangan manusia. Aku sudah menemukan sahabat setia dan teman sejati, yakni Alkitab dan aku sudah menemukan keluarga dan tempat tinggal paling nyaman dan paling hangat, yakni alam semesta.”, ucapku menenangkan diriku sendiri dan membesarkan diriku.

            Biarlah Rian tidak lagi menganggapku dengan dia mengabaikan pesan-pesanku walaupun aku sangat kecewa telah mempercayainya. Aku sangat bodoh telah bercerita padanya. Biarlah ini menjadi caraku bersikap kedepannya bahwa aku harus tetap merahasiakan sakitku ini dari publik. Biarlah aku menjadi orang yang selalu aneh dan misterius. Dunia tak perlu kenal siapa diriku. Tanpa Rian aku harus tetap bisa bersemangat melanjutkan hidupku. Tanpa Rian aku juga harus merasa bahagia. Gapapa sendirian ga punya teman dan sahabat, yang penting aku harus tetap bertahan dan berjuang. Setidaknya aku harus berjuang tetap hidup dan mati dengan cara sewajarnya, tidak bunuh diri. Meski perjuangan ini harus aku lakukan sendirian, tanpa support dari Rian, sahabat kepercayaanku lagi.”, ucapku pada diriku sendiri untuk menguatkan diriku yang teramat lemah dan hancur.

            Aku orang yang bertanggung jawab. Mempertahankan nyawaku sampai takdir kematianku yang sudah ditetapkan. Aku harus bisa menjalani masa pemulihan pasca percobaan bunuh diri ini meski sendirian. Aku pasti bisa melewati ini semua. Biarlah aku sendirian, aku yakin suatu hari aku akan menemukan seorang mentor yang mampu membantuku menjadi orang dan aku akan menemukan seseorang yang benar-benar mampu menerimaku dengan segala penyakit mental dan segala masalah serta vonis sosial yang aku terima saat ini. Toh aku juga tidak perlu khawatir soal makanan dan pasangan hidup. Makanan, aku bisa memakan apapun dari alam. Pasangan hidup, belum tentu usiaku di dunia ini akan lama lagi. Jadi aku hanya perlu focus memepertahankan nyawaku agar tidak mati bunuh diri. Aku yakin aku bisa kuat seorang diri. Aku harus bisa menorah ebuah tulisan. Mungkin itu yang akan aku lakukan saat ini untuk mengisi waktuku dan bercerita tanpa ada telinga yang mendengarkan. Setidaknya itu cukup membuatku merasa berhasil memanfaatkan waktu.”, ucapku sambil tersenyum dan air mata menetes karena merasa sakit sekaligus merasa sedikit bahagia.

            Waktu terus berjalan. Tanpa sadar aku sudah menghabiskan dua jam penuh. Aku segera keluar kamar. Ya, seperti biasa. Di rumah yang saat ini aku tinggali, setiap hari aku hanya mendapati kedua orang tuaku yang sedang sibuk dengan diri mereka sendiri. Ibuku sibuk memasak. Ayahku sibuk merenung. Taka da obrolan hangat keluarga disini. Hal yang membuatku merasa tak memiliki keluarga dan tempat pulang. Hal yang membuatku merasa yatim piatu yang palsu. Hal yang membuatku sadar bahwa aku tak punya teman dan tak punya sahabat yang mau menerimaku dengan tulus. Hal yang selalu membuatku ingin lari dari kehidupan, mati, bunuh diri dan meninggalkan kehidupan dunia ini. Aku meneruskan langkah. Menuju serambi timur rumah. Menyaksikan matahari yang menyapaku dengan kelembutan. Aku tersenyum menyambutnya juga.

            Stop. Jangan berpikir bahwa bunuh diri adalah jalan keluar Rin! Itu memang membuatmu selesai dengan semua penderitaanmu saat ini. Tapi, itu adalah kesia-siaan palsu. Kamu sudah pahan dan yakin bahwa iblis itu ada. Hati-hatilah terhadap iming-iming kebahagiaan dari iblis dengan cara bunuh diri. Please ya Rin, tolong tetaplah sadar. Kita pasti bisa hidup sampai batas waktu yang ditentukan.”, kataku pada diriku sendiri sambil menarik napas dalam.

            Aku kembali masuk kedalam rumah. Mengambil headset dan ponselku. Memutar music kesayanganku dan kembali ke serambi timur rumah. Aku terus berjalan menuju selatan, mengambil air dengan ember lalu menyirami tanaman di halaman rumahku. Aktifitas singkat, namun sangat cukup buat mengusir perasaan tidak baikku. Usai menyiram tanaman ini, ada sebuah kebahagiaan yang aku rasakan. Menikmati hari dengan melakukan aktifitas yang aku mau. Satu hal yang sebenarnya aku inginkan, aku butuh support sistem pasca depresi dan percobaan bunuh diriku. Aku butuh lingkungan baru. Aku butuh seseorang yang mau sepenuhnya kuterima dengan keadaanku yang menderita sebuah penyakit. Aku berharap Tuhan memberiku kekuatan untuk tetap bergerak dan bertahan walau aku sendirian.

***

 

 

Terima kasih sudah membaca. Kritik yang membangun sangat saya harapkan untuk perbaikan tulisan selanjutnya. Kirim di komentar atau E-mail riwayatnaniklestari@gmail.com J


Minggu, 21 Juni 2020

Perasaan Pembawa Duka (judul utama : Kegelapan Tanpa Cayaha dalam Hidupku)

Perasaan Pembawa Duka

            Tungku itu sudah kupenuhi dengan kayu kering. Tangan kiriku sudah memegang daun kelapa kering sementra tangan kananku memegang korek api. Kretek…… kretek….. kretek….. Api dari korek itu mulai menjalar di daun kelapa kering yang kupegang, membakarnya dan memunculkan nyala api yang sudah sangat mampu mandiri tanpa bantuan si korek api lagi. Aku segera mengarahkannya menuju tungku yang sudah kupenuhi kayu kering. Perlahan kayu itu pun terbakar dan menghasilkan nyala api yang cukup lebih besar dan sangat bermanfaat. Tungku itu diatasnya bertengger dua buah panic untuk memanaskan air buat mandi. Rupanya aku sudah berhasil menguasai kembali keahlian zaman jadul yang pernah aku kuasai itu.

            Ah…. Sepi sekali ya.”, gumanku sambil terduduk di samping tungku. “Semua di WFH. Semua kerja tanpa tatap muka karena memang tak perlu diperlukannya meeting yang sangat urgent. Ujian just kerjain dan send via fasilitas internet. Zaman sudah berubah ya.”, lanjutku. “Dulu aku pengen banget punya HP. Sekarang aku dah punya. Laptop juga. Pokoknya perkembangan teknologi hari ini aku punya, meski hanya minimal. Media sosial aku juga punya. Tapi, semua itu taka da gunanya. Sepiku tetap ada. Sendiriku tetap abadi dari dulu sampai sekarang. Aku tetep sendirian ga punya teman. Taka da yang mencari atau mengabariku dari seberang sana.”, lanjutan gumananku yang semakin menjadi.

            Aku tak menyadari sejak kapan meneteskan air mata karena aku memang tidak merasakan kapan aku mulai menangis. Yang aku tahu hanya ada rasa sakit, perih dan teriris di dalam hatiku. Sangat sakit. ,erasakan penderitaan hidup sendirian, seolah terbuang dari masyarakat, seolah diasingkan dan tidak dianggap oleh masyarakat. “Ah. Sejak dulu kan aku memang tidak pernah diharapkan. Ayah kandungku sendiri selalu ingin membunuhku sejak aku kecil. Mana mungkin aku bisa punya teman. Adanya aku hanya akan dijauhi.”, ucapku  pada diri sendiri. Aku mencoba mengajak diriku ngobrol.

            Hey. Rina. Kenapa kamu bicara begitu?”, ucapku memulai mengajak diriku sendiri berbicara.

            Apakah aku tidak boleh mengungkapkan semua yang aku rasakan selama 22 tahun hidup dimuka bumi?”, jawabku pada pertanyaan yang diajukan diriku sendiri.

            Hey Rin. Aku tidak pernah melarangmu. Aku justeru bahagia kamu mau berbagi denganku.”, ucapku pada diriku sendiri yang berpura-pura layaknya orang lain, layaknya seorang sahabat yang sangat peduli pada sahabatnya.

            Aku merasa sakit. Sepi. Sendirian. Aku merasa yatim piatu. Ga punya orang tua, ga punya teman, ga punya sahabat. Semua teman dan sahabatku pergi setelah aku jujur tentang keadaanku yang sedang sakit. Aku merasa takut sendirian. Aku takut hidup di dunia ini.”, ucapku.

            Rina. Tolong dengarkan aku. Kamu ngga sendirian. Ada aku, dirimu. Aku selalu bersamamu dalam suka maupun dukamu. Ayo kita terus bertahan hidup bareng. Kita harus mandiri. Kita harus hidup tanpa seorang pun diluar sana. Kita hidup hanya butuh kasih sayang Allah. Aku tahu ini berat. ga mudah. Karena kita makhluk sosial. Tapi apa boleh buat jika orang lain tidak mau menerima kita yang sakit-sakitan, maka hidup sendirian di tengah hutan belantara tanpa seorang yang lainnya pun kita harus bisa. Kita punya Allah. Kita punya alam. Jangan takut.”, jawabku memancing diriku agar tenang.

            “O iya. Ngapain aku harus merasa takut dan merasa sepi karena ga punya teman dan sahabat yang mau menerima diriku yang sakit. Bukankah memang teman dan sahabat itu ada dan bisa dihitung saat kita lagi bahagia dan bergelimang harta atau tahta tapi kita tak akan punya teman atau sahabat saat kita hidup susah, hancur dan berantakan? Ah, benar sekali yang kamu bilang, aku harus kuat hidup sendirian tanpa seorang teman ataupun sahabat seorang manusia yang menerima sakit ini. Aku ga perlu takut, karena aku sekarang udah nemuin sahabat setia dan teman sejati, dia adalah Alkitab dan aku juga sudah menemukan rumah dan keluarga yang nyaman, yaitu alam semesta. Benar yang kamu bilang. Makasih ya udah ingetin aku.”, ucapku.

            Tangisku terhenti. Perasaan takut, sepi dan sendiri itu perlahan memudar. Meninggalkan sebuah senyum bahagia karena aku memiliki teman sejati dan sahabat sejati, dia adalah Alkitab, Al-Quran, yang selalu setia menemaniku saat senang maupun susah. Aku juga merasa bahagia saat merasakan aku punya rumah dan punya keluarga yang sangat nyaman dan hangat, dia adalah alam semesta.

            Ah, aku sadar ini memang aneh dan berbeda. Benar sekali yang pernah dikatakan Trisna bahwa aku aneh. Aku cewek aneh yang berbeda dari cewek pada umumnya. Ah. Biarkan saja siapapun berkomentar. Aku aneh karena memang keluargaku aneh. Ayah yang mau bunuh putrinya. Apakah cewek diluar sana mengalami yang aku alami ini? 99% tidak. Makanya sudah pasti donk aku beda.”, kataku membangun jiwaku agar lebih damai karena merasa hancur dan illness dikatakan aku adalah cewek aneh yang berbeda dari cewek pada umumnya.

            Oh ya, ada satu lagi. Apakah aku tidak bertanggung jawab? Ah. Biarkan saja mereka berkomentar. Kalau aku ga bertanggung jawab mana mungkin aku berjuang menyembuhkan diriku dari jiwa psikopatku, jiwa berkepribadian gandaku dan sakit mentalku yang sampai mau bunuh diri? Kalau aku tidak bertanggung jawab atas hidup yang Tuhan berikan padaku ngapain aku berjuang sembuh dan berusaha taubat? Jadi, mereka yang bacot dan vonis aku ga bertanggung jawab adalah mereka yang tidak pernah mengenalku. Ya, itu tepat sekali. Mereka hanya tahu namaku namun tidak pernah mengenalku. Memang sih aku ga bisa bertanggung jawab dalam banyak hal bersamaan, karena tanggung jawabku mengurusi diriku yang harus bertahan hidup (jangan sampai aku mati bunuh diri) di tengah kecaman masyarakat karena sakit mentalku ini sudah merupakan jihat terberat bagiku. Maaf, itu kelemahanku, yakni aku hanya bisa focus pada satu hal.”, belaku terhadap diriku saat menjadi tambah illness mana kala teringat dikatai bahwa diriku bukan orang yang bertanggung jawab.

            Api di tungku itu mulai berkobar. Aku segera membenahinya agar kobaran tidak kemana-mana. Usikan kecil ini sudah cukup membantuku mengusir jiwa illnessku yang kumat. Aku teringat satu hal, kura-kura. Aku harus jadi kura-kura. Masuk kedalam tempurung saat aku kena masalah. Tidak lari dan tidak menghindari itu masalah. Namun juga tidak berkutat untuk mencari pemecahannya saat kena masalah. Melainkan berkutat mencari ketenangan dalam tempurung itu. Ya. Itu yang akan aku lakukan mulai hari ini. Menjadi kura-kura. Masuk dalam tempurung saat kena masalah dengan maksud mencari ketenangan di tengah masalah. Baru kalau aku sudah bisa tenang aku muncul lagi dengan sebuah solusi yang hendak kucari. Kalau masalah itu sudah lalu atau tidak jadi menjadi sebuah masalah saat aku muncul, ya Alhamdulillah. Tapi kalau masih bertengger juga tu masalah, insyaa Allah aku sudah mempunya ketenangan yang cukup untuk menghadapinya. Klunting….. Tiba-tiba ponselku berbunyi memberitahukan bahwa ada sebuah pesan yang masuk. Aku membukanya.

            Rina, selamat ya.”, isi pesan dari orang yang tidak asing bagiku, Trisna.

            Hah? Selamat apa Tris?”, tanyaku yang tidak paham apa yang dimaksud oleh Trisna.

            Coba deh cek pengumuman lomba novel internasional. Yang kita ikut itu hloh.”, jawab Trisna.

            Eh. Iya. Aku lupa kalau aku ikut lomba. Bentar tak cek.”, jawabku.

            Dasar. Kalo ga tak perhatiin kenapa ga ingat sih Rin?”, sahut Trisna yang mulai nylonong.

            Hidih. Aku lupa ga sengaja minta kamu perhatiin kok Tris.”, jawabku.

            Iya udah. Ga usah tabung gas meledak.”, jawabnya yang kubalas hanya dengan emotikon tertawa terbahak-bahak. Aku pun segera membuka browser untuk melihat pengumuman itu.

            Wah. Selamat buatmu juga ya Tris. Keren. Ngiri aku tapi sama poin nilaimu yang tinggi banget di bab pemakaian bahasanya.”, chatingku ke Trisna usai melihat pengumuman.

            Ya pasti donk kamu iri. Sudah hapal aku. Makanya aku saingi. Tapi kamu tetep sulit dikalahkan ya ternyata.”, jawab Trisna.

            Dih. Hapal katanya. Hidup lo penuh apalan ya. Wkwkwk….. Yaudah deh biar ga saingan aku ga ikut aja biar lo jadi juara 1 nya. Wkwkwk….”, sahutku menyambut candaan dari Trisna.

            Oneng lo Rin. Kalo lo ga ikut ya gua males ikut. Ngapain. Tujuan gua ikut kan bukan buat menang. Tapi terpaksa harus berusaha juara.”, jawab Trisna.

            Oncom merah dari kedele. Kalo bukan buat menang terus ngapain tujuan kau Tris? Dapat pengalaman aja?”, tanyaku.

            Sari dele lo.Iya. Pengalaman jaga lo soalnya dikhawatirkan pas dapat hadiah jalan-jalan ke luar negerinya sendirian, terus kumat. Siapa yang akan jaga lo dan temenin lo pas kumat? Terutama kumat merasa sepi dang a punya teman.”, jawabnya.

            Eh, lo marah? Lo keberatan jadi support sistemku?”, tanyaku yang merasa khawatir dia marah dan merasa dia keberatan jadi teman ketika aku sakit.

            Oneng. Marah kalo lo sampai berhenti beruang sembuh. Oncom keberatan. Mana ada keberatan. Kalo gua keberatan ga gua lakuin.”, jawab Trisna.

            Ya Allah, Tris. Makasih banyak buat semuanya. Maafin aku.”, jawabku sambil menangis haru.

            Hmm…. Apal ni aku. Pasti lo ini lagi nangis. Bener kan? Iya, sama-sama. Pokoknya tetap bergerak. Jangan berhenti ya. Stay moving! Kamu pasti bisa lewatin ini semua.”, jawab Trisna.

            Siap komandan. Wkwkwk…. Betewe, apa sih yang lo gatau? Gemes aku.”, jawabku.

            Selamat beraktifitas sore hari ya. Have nice day, Rina. See you.”, jawab Trisna sambil mengakhiri percakapan singkat.

            Aku segera menyelesaikan aktifitas soreku. Tentunya sambil bersemangat karena berhasil meraih hadiah jalan-jalan keluar negeri yang aku impikan. Yang lebih membahagiakan adalah keberhasilanku menemukan teman sejati dan sahabat setia selama ini yang akhirnya Allah mudahkan buat kembali bersama. Ya, dia sahabat setiaku, teman sejatiku, Al-Quran. Penemuan ini menjadi sebuah kekuatan baru yang kutemukan dan yang sangat membantuku untuk berusaha terus bertahan hidup sampai matiku adalah dengan cara yang seharusnya, bukan dengan bunuh diri.


Rabu, 17 Juni 2020

Memori dalam Otak Tak Sadarku (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hidupku)

Memori dalam Otak Tak Sadarku

            Kukuruyuk…… Suasana ramai karena sahut-sahutan kokok ayak jantan dari kandang samping rumah menganggu tidurku. Mataku terbuka kaget bukan kepalang seperti hendak loncat begitu saja dari tempat tidurku. Napasku tersengal, mataku membuka terbelalak. Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemeteran. Keringat mulai bercucuran bukan karena kondisi yang gerah, tetapi karena takut, khawatir dan cemas. Aku tidak tahu apa yang terjadi pun tak ingat apa yang aku pikirkan. Namun yang jelas nyata terlintas hanya ada satu hal, yakni perasaan tidak tenang, tidak nyaman, tidak aman dan tidak tentram yang sangat membara. Rasa takut yang begitu memincak sampai seolah menghentikan napasku seketika. Entah sudah seberapaa lama mataku meneteskan air mata membasahi bantalku yang juga diiringi ingusku yang sangat cair.

            Hemmhhh……. Aku menarik napas panjang. Menghembuskannya perlahan. Mengulanginya beberapa kali sampai aku merasa sedikit tenang dan bisa bernapas. Otakku mulai beralih dari tak sadar menuju sadar. Rekaman lama, kisah di masa kelam, masa yang penuh ancaman pembunuhan dan tindak kekerasan lainnya mulai perlahan kabur dan menghilang. Tanpa kusadsri ternyata memori itu sudah membenam ke dalam otak tak sadarku yang sering kali tanpa sengaja terputar dengan sendirinya. Hal yang selalu menjadi batu sandungan bagiku untuk tetap terkontrol di bawah kesadaran. Rintanan terbesar bagiku untuk sehat dan kembali normal.

            Hei otak. Stop! Jangan putar apapun! Jangan replay apapun! Jangan mengingat apapun! Stop! Berhenti!”, kataku dengan tegas sembari kedua tanganku memegangi kepalaku yang kulanjutkan dengan menarik napas dan menghembuskannya secepat kilat beberapa kali. Beruntung, tips bicara tegas pada otakku manjur dan perlahan otakku kembali ke keadaan sadar. Gemetaran tubuhku masih terasa diiringi aliran keringat dingin yang mengucur. Perlahan aku mulai memperbaiki posisi dudukku menjadi posisi meditasi. Menegakkan punggung dan menyilakan kedia kakiku yang kuiringi dengan meletakkan kedua tanganku diatas lutut serta memejamkan mataku. Aku menarik napas beberapa kali sampai aku bisa berkata lebih jauh dan lebih banyak terhadap diriku sendiri.

Hei…… Rina….. Tenang ya…… Santai ya…… Tenang yaaa….. Tolong tenang yaaa….. Tenang…… Tenang…… Tenaaaangggg……. Semua aman…… Semua nyaman……. Semua tenang….. Tenang yaa…… Ga aka nada yang membunuhmu….. Ga aka nada yang mencelakaimu….. Ga aka nada yang membentakmu….. Tenang ya…… Semua aman…… Tenang yaa…..”, begitulah ucapku yang segera kuiringi dengan hembusan napas dalam dan perlahan yang ku ulang-ulang sampai aku merasa nyaman.

Mataku perlahan terbuka. Napasku mulai terasa hangat menenangkan. Perlahan aku meninggalkan posisi meditasiku dan segera bangkit merapikan tempat tidur. Tok….. Tok…. Tok….. Pintu kamarku diketuk. Kebetulan sekali, aku juga mau keluar mengambil wudhlu untuk sholat subuh. Aku bergegas membersihkan bekas air mataku dan segera membukakan pintu kamar.

Eh…. Ningrum……”, sambutku pada sahabatku itu sembari memberikan jalan ke Ningrum yang langsung nyelonong aja masuk kamarku. “Eh Ning. Aku baru aja rapiin itu Kasur. Astaga.”, gerutuku menyaksikan tingkahnya.

Biarin. Tar aku rapiin pelit.”, sambungnya ketus.

Eh. Pagi buta udah mau mulai ngajak ribut tetangganya nih orang ya. Gila lo. Aduh.”, sambungku sambil tepuk jidat.

Tadi aku denger isak tangis. Kamu knapa sih? Diputusin cowok kamu si sapa tuh….. Trisna itu yaa? Eh, bukan. Itu yang kamu ceritakan sedang menyelesaikan Pendidikan Intelejinnya. Si Rian?”, pertanyaan selonongnya sahabatku yang selalu berlagak sok tahu itu.

Idih. Cowok apaan? Sejak kapan aku pacaran ama dia? Amit-amit deh. Ogah kali gua ilangin sahabat gua buat jadi pacar. Masa iya gua mau nikah sama sahabat sendiri? Ngayal lo Rum!”, seru ketusku seraya ngomel akan sangkaannya bahwa aku pacaran sama sahabat cowokku itu, Trisna.

Ya aku kira kalian pacaran. Abis akrab banget. Lengket banget.”, sambung Ningrum.

Astaga Tuhan. Bener ya kata orang ternyata, cewek kalo akrab ama cowok pasti jadi fitnah gini nih. Aduh, sialan lo Rum. Tega fitnah gua pacaran ama Trisna atau Rian. Gua tinju lo.”, omelku kesal pada Ningrum sambil melemparkan guling yang sedari tadi aku pegangan ke muka sahabatku itu.

Hehehehe……. Canda kali Rin…. Langsung ngambeg aja. Makin manis tapi kalau marah gitu.”, ucap Ningrum sambil menggodaku agar ga marah lagi.

Gombalin terus deh. Bilang sekalian aduh gantengnya, mau donk aku jadi isterinya. Dasar gila lo.”, tamparku ke Ningum menggunaakan kata-kata karena sangat emosi.

Ya ampun Rin, kamu masih aja kaya anak kecil tau ngga. Kalo marah yang elegan apa. Gini yang bikin aku khawatir kalau kamu kluyuran di luar sendirian, ga ada yang nemenin. Tar diguyur pakai air selokan lo. Pulang-pulang seisi rumah pingsan gara-gara ngecium bau wanginya lo. Wkwkwkwk…..”, timpal Ningrum.

Idih. Ogah kali di guyur.”, timpalku. “Betewe, gimana bisa sih lo sepagi buta ini ke rumah gua. Sapa juga yang udah mau lo repotin buka gerbang jam segini?”, tanyaku sambil merasa kesal karena kedatangannya bertamu ke tempatku di jam segini. Memang sejak kecil kami sudah seperti anak kembar. Akses kerumah masing-masing saling  bisa 24 jam.

Idih. Kaya lo ga pernah ke kamar gua lebih pagi aja. Gangguin orang tidur buat sahur. Ngapain pula mama gua mau bukain pintu buat lo ya. Huh…..”, ucap Ningrum sambil ngelempar guling yang tadi kulemparkan itu mengenai mukaku.

Hahahaha…… Akhirnya aku dan ningrum tertawa barengan teringat kekonyolan saat membangukan dia waktu sahur hari itu. Kami pun berbaikan dan kembali akur. Seperti sedia kala. Ningrum Nur Nirwana. Itulah nama lengkapnya. Entah karena apa, aku sejak dulu meyukai namanya. Indah sekali menurutku. Dia adalah salah satu sahabatku sejak kecil. Mungkin karena orang tua kami adalah rekan bisnis yang saling berkolaborasi, ditambah lagi kami lahir hanya selisish sepuluh menit di rumah sakit yang sama dan di ruangan yang sama pula, makanya kami bisa akrab sejak kecil seperti saudara kembar. Namun ada satu hal yang aku tidak suka dari Ningrum, yaitu ketika selalu mengajak ribut dengan mengolok-ngolokku yang juga bersahabat akrab dengan Trisna dan Rian yang selalu ia pacar-pacarkan denganku. Namun sebuah keajaiban yang aku miliki bersama Ningrum adalah kami tak pernah bisa musuhan meski bertengkar sehebat apapun. Sebuah anugerah dari Tuhan yang sangat istimewa karena sudah memberiku sahabat yang bagiku adalah saudara kembarku sendiri.

Terus napa nangis? Sini cerita sama aku.”, tanya Ningrum.

Aku tu gapapa. Aku baik-baik aja kok Rum.” Jawabku menutupi apa yang sebenanrnya sedang kualami. “Aku Cuma kangen pualng ke rumah nenek aja. Tapi kan udah ga bisa kesana. kamu juga tahu kalau nenekku udah meniggal sejak tujuh tahun yang lalu.”, jawabku yang kemudian Ningrum memelukku.

Sabar ya Rin. Kamu ga sendiri. Kalau ada masalah jangan sungkan buat cerita ma aku. Bagiku kamu itu saudara kandungku.”, ucap Ningrum.

Iya Rum, makasih ya.”, jawab singkatku sambil tersenyum palsu.

Aku tahu Ningrum pasti tahu kalau aku menyembunyikan sesuatu darinya. Namun, sepertinya lebih baik dia tidak tahu masalah sakit mentalku. Bukannya aku tidak mau dia tahu kalau aku sakit, tapi aku tidak mau kalau dia bakal ikut memikirkan sakitku. Aku pengen dia focus kuliah aja. Aku menyadari masalahku terlalu berat untuk dia ikut pikirkan. Bukan aku tidak percaya bahwa Ningrum bisa dan mampu aku andalkan untuk menjaga rahasia besarku ini, tapi aku hanya tidak ingin membebani dan membuatnya khawatir saja.



                                                                                ***


Note from writer:
Terima kasih telah membaca. Tanggapan, masukan, saran dan kritik yang membangng sangat penulis harapkan untuk perbaikan tulisan-tulisan berikutnya. Tulis di kolom komentar atau kirim E-mail : riwayatnaniklestari@gmail.com. Atas masukkan teman-teman saya sampaikan terima kasih.

Sabtu, 13 Juni 2020

Pertolongan Pertama Penanganan pada Luka Psikologis yang Terjadi pada Kesepian

(Resume BAB II Pertolongan Pertama pada Emosi Anda dibuat oleh Riwayat Nanik Lestari pada 22 Syawal 1441/14 Juni 2020)

Ientitas Buku:

Judul Buku                  : Pertolongan Pertama pada Emosi Anda

Pengarang                   : Guy Winch, Ph. D.

Penerjemah                  : Th. Dewi Wulansari

Penerbit                       : Gemilang, Jakarta

Tebal Halaman            : 448 halaman

Resume:

            Buku dengan judul Pertolongan Pertama pada Emosi Anda ini memiliki pokok bahasan sebanyak 7 bab, yakni penolakan, kesepian, rasa kehilangaan dan trauma, rasa bersalah, ruminasi, kegagalan dan rasa rendah diri. Setiap bab di buku ini di bahas mengenai luka-luka tersebut dan kemudian dibahas mengenai cara penanganan yang mungkin bisa kita lakukan. Sebagai catatan, setiap cara penanganan dalam setiap luka boleh dipraktikkan apabila kondisi mental praktikan sudah benar-benar kuat. Panduan ini hanya diperuntukkan untuk luka-luka ringan dan apabila pemakai merasa memiliki tingkat luka yang cukup parah yang ditandai dengan ketidakmampuan secara mental menerima isi dari buku ini maka disarankan harus melakukan penanganan yang lebih serius bersama ahlinya.

 

BAB II – Kesepian

Pembahasan

Dunia yang menyempit karena mudahnya komunikasi bisa terbentuk melalui jaringan sosial/media seharusnya mampu mengusir kesepian, tetapi kenyataan sering berlawanan sebab yang menentukan rasa kesepian bukanlah kuantitas hubungan tapi kualitas hubungan serta seberapa jauh diri kita menganggap bahwa kita terasing (secara sosial maupun emosional). Kesepian memiliki kesamaan dengan merokok yang menggerogoti kesehatan/mengurangi usia hidup kita seiring dengan intensitas seringnya kita merokok karena dapat membahayakan dengan cara yang jauh melampaui pembatasan terhadap kebahagiaan mendasar kita yang bisa memicu depresi klinis, pikiran/perilaku bunuh diri, permusuhan dan gangguan tidur. Kesepian mengancam kesehatan secara umum (seperti gangguan sistem kardiovaskuler, gangguan sistem endokrin dan gangguan sistem imunitas) dan gangguan mental (seperti ketidakmampuann mengambil keputusan, menurunnya perhatian dan konsentrasi, terganggunya penilaian terhadap sesuatu serta ancaman penyakit alzeimer), serta hilangnya rasa keterdsakan yang menyebabkan kita jarang mendahulukan kebutuhan untuk melepaskan diri dari cengkeramannya dan merawat luka psikologis kita. Kesepian bersifat menular dengan tingkat kedahsyatan penularan bergantung pada tingkat kedekatan antara orang yaag kesepian dengan orang yang tidak kesepian, baik orang yang di dalam/luar lingkungan dekat orang yang sedang kesepian.

Luka Akibat Kesepian

Kesalahan persepsi yang menyakitkan : mengapa kita merasa tidak terlihat tetapi rasa kesepian kita tampak. Mengingat masa kesepian/terasing secara sosial (seperti tidak diundang dalam acara ulang tahun teman) sudah membuat kita memberikan penilaian negatif tentang sistem pendukung sosial kita saat ini, memunculkan rasa malu, meningkatkan kegelisahan sosial, membuat suasana hati dan rasa percaya diri jatuh serta merusak optimisme. Kesepian membuat kita menilai orang lain dan dan hubungan/interaksi sosial yang kita miliki dengan penilaian yang kasar dan negatif. Kesepian juga mempengaruhi bagaimana orang lain melihat kita sebagai orang yang kurang menarik/kurang cerdas sehingga mereka menjauhi kita. Hal ini merupakan ironi dari kesepian dimana kita merasa tidak terlihat akan tetapi orang lain bisa melihat kita dengan jelas bahkan mereka mampu melihat kesepian yang kita alami.

Ramalan yang mengalahkan diri sendiri : mengapa berusaha lebih keras justru mengarah pada kegagalan. Periode transisi/perubahan menjadi awal mula kesepian itu terjadi dan kita akan melakukan penyesuaian sehingga terbebas dari kesepian. Namun, apabila kita gagal melepaskan diri dalam periode waktu yang sewajarnya, kita menjadi terjebak di dalamnya, dibuat tidak berdaya karena gelombang sakit emosional, dikalahkan oleh rasa tidak berharga dan putus asa dan dikuasai kehampaan karena keterasingan sosial dan emosional yang kita alami. Hal ini disebabkan oleh persepsi keliru yang menyakitkan, kita lari menuju lingkungan perlindunan diri dan penghindaran yang menciptakan ramalan yang dipenuhi rasa kesendirian sehingga tanpa sadar menjauhkan orang lain dari kita.Kebimbangan dan ketidakpercayaan memenuhi diri kita setelah lama mengalami penolakan dan kesepian yang memunculkan ketakutan. Akibatnya kita mendekati/berinteraksi dengan orang lain dengan sikap tidak percaya, curiga, sinis dan gelisah atau bahkan menghindari mereka. Semakin lama kita terjebak dalam kesepian maka kita akan semakin membuat siapapun enggan berinteraksi dengan kita sehingga hal ini menjadi pendorong bagi kita merasa sebagai korban yang pasif dari dunia yang keras/kejam. Meski sebenarnya adalah kita sendiri yang menjadi kontributor utama yang menyebabkan kita menjadi korban, namun kita tidak mampu menyadarinya dengan mudah.

Otot hubungan yang terhenti : kita memanfaatkan mereka/kita kehilangan mereka. Ketika kita tidak memiliki hubungan yang berarti dan dalam dengan orang lian/tidak mampu mencurahkan diri kita ke dalam hubungan yang kita miliki berarti kita tidak lagi melakukan rangkaian keahlian yang dibutuhkan untuk menjaga hubungan. Hal ini karena kita gagal menggunakan otot-otot relasi secara teratur/tidak menggunakannya dengan benarsehinga otot kita melemah/kehilangan kemampuannya. Untuk mengatasinya kita perlu mempelajari kemampuan baru serta menemukan keberanian untuk praktik, apapun resiko emosional yang ditimbulkan. Memahami kebutuhan/perasaan seseorang dari perspektif  orang tersebut penting untuk menciptakan/mempertahankan pertemnan yang dekat/keintiman emosional.

Penanganan

Kesepian akibat hubungan yang mengalami perpisahan akan terasa lebih lega apabila kita melakukan langkah-langkah untuk menjalin hubungan dengan teman-teman maupun orang-orang terkasih kita.ada enam langkah penanganan yang bisa kita lukakn untuk menangani luka psikologis akibat kesepian. Penanganan A dan B (mengenali perilaku mengalahkan diri sendiri) ditujukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi yang disebabkan oleh kesepian dan perilaku mengalahkan diri sendiri. Penanganan C (memperhatikan sudut pandang orang lain) dan D (memperkokoh ikatan emosional) untuk memperkuat otot-otot relasi yang penting bagi pembentukan hubungan baru/memperkuat hubungan yang sudah terjalin. Penanganan E (menciptakan peluang bagi terjalinnya koneksi sosial) untuk mengenali kesempatan-kesempatan baru untuk menjalin ikatan sosial. Penanganan E (mengadopsi hewan) untuk mengurangi penderitaan sosial, khususnya bagi yang memiliki pilihan terbatas untuk mengembangkan/memperbaiki kualitas hubungan sosial.

Penanganan A : singkirkan kacamata yang diwarnai dengan pikiran negatif. Kesepian membuat kita selalu waspada, siap untuk menghadapi kekecewaan dan penolakan yang kita percaya pasti datang sehingga kita kehilangan koneksi sosial dengan cara yang membuat orang lain menjauhi kita. Untuk menyingkirkan kacamata ini ada beberapa step yang harus kita lakukan. Pertama, melawan sikap pesimis (memikirkan/membayangkan hal buruk tentang diri kita dalam sebuah interaksi sosial) degan membayangkan skenario keberhasilan yang wajar, serta membiarkan orang lain mengenali kita, mengobrol sedikit, bertukar salam, mengomentari cuaca, menanyakan akhir pekan pada orang lian. Keuda, menghilangkan tuduhan/sikap skeptis (pikiran buruk mengenai bagaimana perasaan orang lain terhadap kita) dengan mengingat sejarah bagaimana bisa bersama dengan orang lain tersebut dan pengalaman bersama apa yang membuat hubungan/persahabatan terjalin dan bertahan sejauh ini. Terakhir, bertindak untuk mengalahkan perasaan sebagai korban pasif (merasa tidak mampu mengubah keterasingan sosial, emosional dan keintiman) dari dunia yang kejam. Adapun beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam bertindak:

1.      Memeriksa nomor telepon/alamat telepon/kontak sosial media lainnya, kemudian membuat daftar orang yang kita anggap teman/kenalan baik.

2.      Mencatat kapan terakhir berinteraksi pada masing-masing orang.

3.      Menyusun daftar berdasakan siapa saja yang pernah membuat kita banga pada diri kita. Lalu menghubungi 2-3 orang pada akhir pekan.

4.      Mengunjungi situs-situs yag memuat daftar pertemuan, lalu mencari kategori mereka untuk melakukan meeting.

5.      Mengenali >2 kegiatan/hobi/topik yang menarik bagi kita untuk mengikuti pertemuan-pertemuan itu kemudian menggunakan daftar teman-teman kita untuk diajak gunak menciptakan hubungan pertemanan yayng baru.

Penanganan B : kenali perilaku yang mengalahkan diri sendiri. kesepian membuat kita mendekati orang dengan sikap waspada, curiga dan keraguan yang nanmpak jelas sehingga membuat mereka menjauhi kita. Akibatnya kita akan membenarkan kecurigaan dan kewaspadaan ini sejak awal sudah benar sehingga kita akan terpukul. Parahnya kita cenderung mengulangi perilaku mengalahkan diri sendiri (sedikit bertanya/bicara karena takut, sedikit senyum/ramah karena gelisah) dalam segala situasi. Perilaku mengalahkan diri sendiri yang lainnya seperti mencari-cari alasan untuk menolak undangan, tidak memberi ucapan selamat akan kebaikan orang lain, serius menanggapi gurauan, menggunakan bahasa tubuh yang defensive (bersedekap, berdiri dengan kedua tangan di saku, mengobrak-abrik isi dompet, sibuk memeriksa HP), menjawab pendek, bicara terlalu mendominasi, tidak bertanya kehidupan.pendapat orang lain dan mengakui kesalahan/kegelisahan kita pada orang yang baru kita jumpai. Langkah untuk menangani hal ini adalah dengan mencoba mengenali sedikitnya tidak perilaku (meski kelalaian, keliatan cukup ringan dan bisa dibenarkan sekalipun) yang menjauhkan orang lain. Kemudian ingat-ingat dan usahakan untuk menghindarinya agar tidak terulang lagi di masa yang akan datang.

Penanganan C : menggunakan perspektif orang lain. Perspektif taking/membaca dengan tepat pendapat orang lain merupakan otot hubungan yang sangat penting karena hal ini mampu memudahkan kita untuk memahami prioritas, motovasi, antisipasi perilaku serta membayangkan reakti orang lain. Keuntungan yang kita peroleh dari perspektif taking adalah kemampuan bernegosiasi, kerjasama, menyusun strategi, memecahkan masalah, komunikasi efektif, mengakses sifat peduli, mementingkan orang lain dan empati. Cara paling cepat untuk merehabilitasi otot hubungan ini adalah dengan mengetahui kesalahan besar perspektif taking dan mengoreksinya. Pertama, kegagalan dalam melibatkan otot perspektif taking pada saat yang seharusnya dikarenakan kita memang  tidak pernah berusaha memahami orang lain. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mencoba memosisikan diri di posisi orang lain untuk memahami mereka dengan baik, misalnya memahami lelucon orang lain. Kedua, lebih mengutamakan pendapat sendiri yang menyebabkan kita tidak mampu memberikan pertimbangan yang cukup terhadap pandangan orang lain. Hal ini rawan terjadi dikala komunikasi elektronik sehingga diperlukan pertimbangan yang cukup menyangkut pendapat orang lain terhadap penafsiran mereka tentang komunikasi elektronik.

Ketiga, mempertimbangkan informasi yang salah. Sebagai contoh kita sering melakukan penilaian terhadap pilihan seseorang berdasarkan diri kita sebagai acuan yang jelas sekali ini akan menunjukkan pertimbangan informasi yang salah. Untuk meminimalkan hal ini maka diperlukan upaya kita untuk memperhatikan ekspresi seseorang dan menjauhi yang namanya gossip. Dalam hal urusan asmara kegagalan perspektif taking disebabkan karena sudah saling mengenal sehingga menimbulkan perasaan sudah paham/mampu menilai pandangan pasangan kita tanpa perlu melakukan pertimbangan lagi yang pada akhirnya hanya akan membuat kita tidak disukai oleh pasangan kita sendiri. Untuk mengatasi ini adalah dengan tidak mendominasi pembicaraan terhadap pasangan kita yang kurang mampu menyampaikan tentang perasaan dan harapannya.

Penanganan D : mempererat ikatan emosional. Untuk mempererat emosional ini perlu dilakukan pengasahan rasa empati agar kita bisa mampu dengan baik memahami emosi yang dirasakan orang lain. Beberapa cara untuk menumbuhkan empati adalah dengan membayangkan diri kita dalam situasi orang lain, memahami konteks (cara berpikir seseorang, pengalaman, ketakutan, keraguan, harapan, apa yang terjadi, hubungan lain yang terjadi pada seseorang), dan menyampaikan pemahaman dengan sungguh-sungguh agar orang itu menyadari kita sudah mencurahkan segala pikiran dan usaha untuk menghargainya.

Penanganan E : menciptakan peluang untuk menjalin hubungan sosial. Cara terbaik untuk mengatasi perasaan rapuh, mengurangi keraguan dan menghindari sebutan orang kesepian adalah mendekati berbagai situasi dengan tujuan yang lebih besar, seperti memiliki agenda tambahan mendokumentasikan kegiatan saat berlibur bersama teman untuk menambah tulisan blog. Beberapa cara yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan daring karena daring merupakan secound life kita yang memudahkan untuk berkomunikasi dengan orang lain  yang memiliki hobi dan minat yang sama. Hal lainnya bisa dilakukan dengan menjadi relawan untuk menolong orang lain. Hal ini akan meningkatkan perasaan berharga dan diinginkan orang lain secara sosial sehingga sangat ampuh untuk mengusir kesepian klinis kita.

Penanganan F : mengadopsi teman baik. Hal ini bisa dilakukan dengan memelihara hewan. Memelihara hewan mampu menjadi support bagi kita merasa tenang dan nyaman pasca trauma dan luka tragis lainnya.

Minggu, 07 Juni 2020

Ucapan Selamat Pagiku (judul utama : Kegelapan Tanpa Cahaya dalam Hidupku)

Ucapan Selamat Pagiku

 

            Allahhuakhbar 2x. Ashadualla illa ha illa Allah. Ashaduanna Muhammadar rasulullah. Khaiya’aalassholah. Khaiya’alalfalah. Qodqomadissholah 2x. Allahuakhbar 2x. Laillaha illa Allah. Uahhhhh……. Kantuk ini masih saja mengganduli tubuhku yang reyot diatas Kasur. Selimut ini kubenahi lagi agar menutupi sempurna tubuhku. Mataku manja terpejam diiringi ringkukan tubuhku yang kedinginan.

Rin…..”, sapa bunda dari luar pintu kamarku. “Rina…….”, ulang bunda. Tok…. Tok…. Tok….

Uh…. Berisik sekali sih.”, gerutuku sambil sempoyongan menuju pintu untuk membukanya. “Iya bunda, kenapa?”, tanyaku sambil menguap.

Masih juga nanya kenapa. Sudah fajar. Ayo bangun subuh.”, ajak bunda.

Ah…. Males bunda.”, sambungku ceplos tanpa peduli sopan santun.

Nak, kamu sudah besar nak. Sudah baligh. Ayo sholat!”, nada bunda agak meninggi.

Bodo amat.”, jawab ketusku sambil membanting pintu dan menguncinya lagi.

            Aku kembali menuju tempat tidurku dan kembali melemparkan selimut untuk menutupi tubuhku yang kedinginan. Aku mulai menutup bagian mukaku dan bersiap untuk tidur. Mataku terpejam, mencoba tidak memedulikan apapun yang terjadi sebelumnya. Mencoba menganggapnya ahnya sebuah mimpi buruk saja. Tapi aku tak lagi bisa tidur. Rasanya gelisah. Entah kenapa hati ini kembali merasa tidak enak. Mataku terpejam namun otakku berlari kencang. Memutar segala scenario, rekaman dan banyak video yang sangat mencekam.

Ahhh…… Sial…..”, gerutuku di dalam selimut.

            Aku segera bangun. Duduk menatap depan dengan penuh kekosongan. Tak ada apapun yang tertangkap oleh retina mata. Bukan hanya karena tatapanku kosong untuk hari ini, tapi memang kondisi kamarku dengan keadaan lampu mati memang turut membuat suasana semakin kosong. Hanya gelap yang memenuhi dan putaran dari berbagai rekaman, video dan scenario-skenaio yang akhirnya membuatku menjadi tertahan nafas. Tanpa sadar, airmata ini mengalir deras. Rasa takut yang begitu mencekam perlahan menyelimuti kakiku. Dinginnya seperti membuat tubuhku membeku.

            Meringkuk dalam duduk dengan membenamkaan kepala adalah cara terbaik yang bisa aku lakukan untuk mengurangi sakit yang sangat keras dari jiwaku. Aku tahu jiwaku meronta-ronta mengharapkan sebuah pelukan atau sebauh obat yang bisa menyembuhkannya. Tapi, hanya memeluk diriku dengan meringkuk yang bisa aku lakukan. Mengajaknya ngobrol pelan-pelan dan berusaha menenangkannya. Meski aku tahu apa yang kulakukan pasti jarang berhasilnya, tapi ini yang aku bisa lakukan saat diriku mulai meringkuk dan membenamkan kepala. Air mata itu masih terus aku biarkan mengalir begitu saja dan aku biarkan hatiku melakukan sebuah tindakan membiarkan ia terlukai juga aku membiarkan otakku terus memberikan serangan bertubi-tubi yang membuat luka hati dan jiwaku makin parah. Hanya ini yang bisa aku lakukan.

            Kring..... Kring….. Kring…… Ponselku berdering. Aku segera mencoba menguatkan diri untuk berhenti merasa takut. Sekuat yang aku bisa, aku mencoba menarik kepalaku agar berdiri tegak. Beruntung ponselku tak jauh dariku sehingga aku masih bisa meraihnya tanpa mengubah posisi dan kondisi dudukku yang meringkuk ketakutan ini.

Tumben banget ni HP masih hidup. Biasanya sepagi ini dia mati dan aku terlalu malas buat ngecash.”, gumanku sambil membuka sandi ponsel. Belum sempat aku angkat, panggilan telepon itu mati. Kikuk…… Notifikasi pesan WhatsApp yang segera masuk ketika aku mencoba menyalakan data. Segera aku membukanya.

Pagi Rina.”, isi pesan dari Trisna, seorang laki-laki yang membuatku merasa nyaman karena sikap baiknya.

Iya. Pagi Tris.”, jawab singkatku.

Gimana keadaanmu? Teleponku kok ga diangkat, Rin?”, tanyanya.

Maaf ya.”, jawabku.

Ayok lari-lari. Aku jemput kerumahmu ya. Buruan siap-siap.”, ajaknya.

Ok.”, jawab singkatku yang masih ngerasa ga karuan hingga jawab sekenanya.

Okay. J ”, bawabnya mengakhiri percakapan.

            Aku segera menyalakan senter ponsel dan segera menghilangkan air mataku dengan tisu basah yang ada di meja kamarku. Mengenakan kaus kaki dan pergi keluar kamar. Aku mengambil sepatu lalu pergi melewati ruang tamu diam-diam agar bunda ga memergoki kepergianku. Di teras aku memakai sepatu lalu menunggu Trisna datang menjemputku untuk lari-lari pagi ini. Tak lama aku menunggunya, dia segera tiba di depan rumahku. Aku bergegas menuju gerbang dan bergabung bersamanya.

Hai Rin. Kamu udah lama nunggu?”, sapanya.

Hai. Engga kok. Barusan selesai makai sepatu.”, jawabku sambil mengunci gerbang lagi. “Yuk.”, lanjutku usai mengunci gerbang.

Ayuk.”, sanbungnya.

            Aku dan Trisna kemudian lari-lari. Aku mengikutinya. Sesekali dia melambatkan kecepatannya dan berjalan cepat sambil menanyakan apakah aku lelah. Aku hanya menjawab dengan jawaban singkat “belum”. Sesekali aku berhenti menyaksikan indahnya fajar yang merekah dari ufuk timur.  Trisna mengikutiku. Rasanya aku seperti dikawal pribadi olehnya. Setelah beberapa saat aku ingin lari lagi dan belok menuju jalan yang mengarah rumah kami, tapi Trisna mencegahku.

Rin, berhenti dulu.”, cegahnya yang menghentikan langkahku.

Kenapa?”, tanyaku.

Ayok pergi ke suatu tempat dulu. Biar kamu refreshing. J ”, ucapnya.

Kemana?”, tanyaku.

Udah, ayo ikut dulu. Nanti kamu tahu.”,ucapnya. Namun aku masih saja terdiam di tempat karena mendadak aku takut kalau dia bakal macam-macam. “Tenang Rin, aku ga bakal aneh-aneh ke kamu. Janji. Demi Tuhan.”, ucapnya meyakinkanku.

Awas kamu ngebahayain aku.”, ancamku.

Engga. Janji.”, ucapnya.

            Aku segera mengikutinya. Berjalan disampingnya. Trisna mengajakku ke sebuah area yang aku tidak mengenalnya sama sekali meskipun daerah yang bertetangga cukup dekat. Kami menyususri jalan yang menghampar diantara persawahan yang luas. Aku merasa sedikit cemas kalau Trisna bakal berbuat aneh-aneh. Untuk jaga-jaga aku mengambil sebuah tongkat yang masih bagus dan sepertinya tidak terpakai. Aku takut jika nanti Trisna akan melakukan sesuatu kepadaku. Walaupun aku sangat nyaman dengannya, bagaimanapun Trisna tetap seorang laki-laki. Sesekali kami bertemu penduduk yang menyapa kami, lebih tepatnya menyapa Trisna. Dari sapaan mereka aku mengetahui ternyata Trisna punya kakek dan nenek yang tinggal di kampung ini, pantas saja dia tidak takut tersesat di daerah ini.

Arep ndek daleme mbah Tris? (mau kerumah kakek, Tris?)”, Tanya salah satu penduduk yang berpapasan dengan kami dan membuat kami menghentikan langkah.

“Enggih pak dhe. (iya pak dhe.)”, jawab Trisna. Sementara itu aku hanya mengangguk dan tersenyum karena tidak tahu harus berbicara apa sebab aku tidak paham apa bahasa yang mereka gunakan.

Iki sapa Tris? Adhikmu atau calon garwamu? (ini siapa Tris? Adhikmu atau calon isterimu?)”, Tanya orang yang disapa pak dhe oleh Trisna itu.

Sanes pak dhe, niki rencang kulo. (Bukan pak dhe, ini teman saya.)”, jawab Trisna.

Owalah. Sajane dadi garwamu yo cocok hlo Tris. (Owalah. Aslinya jadi isterimu juga cocok loh Tris.)”, sambung orang itu sambil tertawa.

Takdir Allah mawon pak dhe. (Takdir Allah saja pak dhe.)”, jawab Trisna sambil tersenyum. Kali ini sepertinya Trisna senyum malu.

Hlo awakmu hla yo seneng to. Wes ra usah ngapusi. Pak dhe tak ndek sawah sik. Kono ndang kenalke ambi mbah e banjur bapak ibu. (Tuh kan kamu sebenarnya juga suka. Udah jangan bohong. Pak dhe mau ke sawah dulu. Sana buruan kenalkan dengan kakek lalu ayah ibu.)”, sambung orang itu sambil menunjukkan gestur untuk meninggalkan kami.

Nggih pak dhe, pangestunipun. (Iya pak dhe, mohon restunya.)”, jawab Trisna.

            Setelah orang itu pergi, giliran aku yang ingin tahu apa yang tadi mereka bicarakan. Aku mulai memecahkan suasana dan membuka obrolan bersama Trisna yang memang sejak awal aku malas sekali untuk berbicara dengannya.

Tris, tadi itu siapa?”, tanyaku.

Itu pak dhe dari ibuku. Pak dhe itu paman, kakak laki-laki ibuku.”, Trisna menjelaskan.

Owalah. Tadi nanya apa beliau?”, tanyaku lagi.

Nanya apa mau kerumah kakekku. Aku jawab iya.”, ucapnya yang langsung kupotong.

Eh… Buset…. Apa kamu bilang? Mau kerumah kakekmu? Mau ngapain? Akum au balik pulang aja. Ga mau aku maen.”, potongku nyelonong.

Sebentar, aku belum selesai ngomong.”, jelasnya.

Maaf. Terus nanya apa lagi beliau?”, tanyaku.

Nanyain kamu itu pacarku bukan.”, jawab Trisna.

Terus?”, tanyaku beberapa saat kemudian seteah dia tidak menunjukkan tanda mau melanjutkan percakapan.

Terus akum au ajak kamu ke tempat di depan itu.”, jawab Trisna sambil nunjuk sebuah bukit yang sangat indah.

Banyak pepohonan dan bunga mekar yang warna-warni. Ditambah lagi tebingnya menghadap ke timur menunjukkan indahnya mentari pagi. Eksotis sekali. Membuatku seketika lupa dengan apa yang sebelumnya aku ingin ketahui.

Wah….. Indah banget Tris. Uwuuuu…….”, teriakku kegirangan dan berlari mendahului Trisna menuju bukit dengan seribu keindahan itu. Tongkatku kubuang gitu aja dan aku mendekati bunga-bunga itu lalu memotretnya juga mengambil satu bunga yang menurutku paling indah.

Rin, tunggu.”, ucap Trisna yang tidak aku gubris. Aku terus menaiki bukit itu menuju puncak. Ditengah perjalanan aku berhenti karena di depanku ada ulat yang bergelantungan sebab pohon tempatnya hingga tertiup angin.

Tris…… Ulatttt……… Aku takut…..”, teriakku. Trisna buru-burfu menyususlku.

Makanya kalau dibilang tunggu itu dengerin.”, ucapnya.

Aku tidak menggubris. Kami segera berjalan menaiki puncak. Masih saja aku asik memfoto ini itu sementara Trisna mencari jalan buat naik ke atas menuju tebih eksitis itu. Tak lama kami sampai di puncak. Menikmati mentari pagi yang hendak menyapa dunia. Cukup indah sekali. Tanpa kusadsri ternyata aku menjatuhkan air mata. Hal itu membuat Trisna bertanya-tanya.

Rin, kaya anak kecil banget ya kamu. Liat gini aja udah sampai nangis gitu.”, komentar Trisna.

Bukan Tris, bukan begitu.”, jawabku.

Kenapa? Teringat lagi?”, tanyanya.

Iya. Kenapa sih harus kamu yang ajak aku jalan-jalan? Aku pengen ayahku yang ajak aku jalan-jalan.”, jawabku.

Sudahlah. Yang penting sekarang kamu harus bahagia.”, sambungnya.

Aku ga tau sampai kapan kaya gini. Masih terus kumat. Masih terus kambuh. Aku lelah Tris. Kadang aku merasa ga ada siapapun disini yang bisa jadi tempat sekedar bersandar saat aku lelah atau sekedar jadi telinga saat aku ingin cerita. Kadang kalau aku kumat merasa kaya gitu aku pengen pergi dari dunia aja.”, sambungku sekenanya yang lagi-lagi curhat.

Hei. Kana da aku yang bisa jadi tempatmu curhat. Ada psikolog dan dokter yang sedang menanganimu juga terapismu. Ada kakak-kakakmu yang sudah mulai mengerti kamu. Ada dosen, ustadz/zh yang siap mendengrmu. Jangan merasa sendiri ya Rin.”, ucap Trisna menenangkanku.

Hemmhhhh……. Iya juga Tris…. Kamu benar…. Maafin aku. Makasih ya….”, ucapku yang diiringi hembusan nafas panjang dan senyum padanya.

“Iya. Sama-sama. Kamu itu hebat banget. Aku salut sama kamu tu,”, ucap Trisna.

            Aku hanya terdiam. Menatap mentari pagi dan menikmati lembutnya udara di pagi ini. Rasanya nyaman dan damai. Hingga akhirnya kalutku tadi pagi menghilang. Aku merasa sangat bahagia.

Tris….”, ucapku mencoba membuyarkannya dari membengong menatapku aneh tapi tetap saja dia tidak menggubris. “Tris?!”, ucapku meninggi.

Eh…. Iya…. Maaf.”, sambungnya gagap.

Kamu kenapa?”, tanyaku polos.

Ga pa pa. Kamu cantik Rin.”, ucapnya.

Hahaha…. Makasih Tris. Karena aku emang wanita makanya cantik, kalau aku laki-laki pasti ganteng lah.”, sambungku menanggapinya yang kukira bercanda.

Yah…. Kamu…. Bercanda Terus…. Tapi kamu kalau bahagia gini beneran cantik. Jangan depresi terus makanya.”, ucap Trisna yang seketika membuatku tertawa lepas. “Suatu hari kamu harus siap dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekarang ya Rin.”, ucapnya.

Maksudnya Tris?”, tanyaku.

Nanti kamu tahu sendiri. Semoga saja kamu selalu kuat. Aku yakin kok, kamu sangat kuat.”, ucapnya. Aku hanya terdiam. “Oh ya, kamu masih belum mau masuk islam lagi?”, tanyanya.

Entah. Aku masih bingung. Aku yakin Muhammad itu rasul, Aku yakin tuhan itu hanya satu. Tapi aku tidak yakin Tuhan itu adalah yang disebut “Allah” seperti yang di Al-Quran itu.”, jawabku

Kenapa?”, tanyanya.

Gak yakin aja kalau Tuhan yang Esa itu “Allah”.”, jawabku.

Apa yang bikin kamu ga percaya?”, tanya Trisna lagi.

Entahlah. Nanti aku pikirkan ulang Tris.”, jawabku.

Kamu mau ngobrol dengan seseorang. nanti kamu bisa dapat pencerahan dari beliau. Mungkin saja kalau aku yang bilang kamu ga akan percaya.”, tnyanya.

Mau. Tapi aku takut ketemu orang lain. Aku masih trauma.”, jawabku.

Nanti aku yang temenin kamu.”, jawab Trisna.

Okay.”, jawabku. Trisna hanya menjawab dengan senyum yang terlihat sangat bahagia. “Bahagia sekali sepertinya Tris.”, komenku.

Aku berharap kamu masuk islam lagi.”, jawabnya.

Kenapa?”, tanyaku.

Itu mungkin kebahagiaan terbesarku.”, jawabnya.

Makasih ya ga memberi tau siapapun kalau aku sekarang murtad dan ga memeluk agama apapun.”, ucapku.

Sama-sama.”, jawabnya. “Oh ya, kamu jangan galak-galak sama ortu ya Rin. Kasian mereka. Aku tau mereka jahat sama kamu, tapi, kamu harus tetap jadi orang baik.”, sambung Trisna.

Maaf Tris, hanya segitu aku kuat bertahan.”, sambungku

Ga pa pa. Yang penting terus berusaha ya. Aku sudah bangga kamu bisa sebaik ini. Jangan berhenti berusaha ya Rin. Aku yakin kamu bisa.”, jawab Trisna. “O iya, tadi pagi kumat lagi ya?”, tanyanya.

Maaf.”, jawabku sambil tertunduk menyesal.

Ga pa pa Rin. Aku paham kok. Lain kali kalau kenapa-kenapa jangan takut hubungi aku atau ibuku ya.”, ucapnya yang kebetulan ibunya dia adalah pendamping utamaku dalam menjalani pengobatan mental yang aku alami..

            Aku hanya mengangguk dan tersenyum sebagai ungkapan teria kasih. Matahari sudah terbit sangat tinggi. Aku dan Trisna menuruni bukit itu. Trisna memaksa untuk mampir kerumah kakeknya yang ternyata kosong karena masih diluar kota. Dia ternyata hanya mematikan lampu di rumah itu. Akhirnya kami segera pulang.




:):):)



Saran dan kritik yang membangun sangat saya harapkan. Tolong sampaikan di kolom komentar atau kirim E-mail riwayatnaniklestari@gmail.com. Terima kasih. :)