Translate

Kamis, 16 Desember 2021

Pulang

 Pulang?

Pulang. Sebuah kata yang bagiku amat tidak aku suka. Kamu tahu kenapa? Karena aku merasa tidak punya tempat pulang. Aku merasa tidak memiliki keluarga. Bukan karena aku yatim piatu, tapi karena memang rumah rasanya bukanlah tempat pulang bagiku. Semua itu bukan karena aku berbuat kesalahan fatal lalu diusir dari rumah. Melainkan aku yang merasakan rumah adalah neraka.

Sore itu, 27 November 2021, HP-ku berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk. Itu dari orang yang termasuk aku perioritaskan, kakak pertamaku.

“An, mantuk disik ya. Iki Mamad yo arep mantuk. Sok ben iso ketemu ndek omah.”, begitulah tulisann singkat yang aku baca di layar HP kecilku.

Deg. Hati ini rasanya ngga karuan. Ada sedikit rasa bahagia karena akkhirnya bisa pulang meninggalkan lab sejenak. Ada rasa bahagia bisa bertemu dengan orang-orang yang teramat istimewa bagiku. Namun, disisi lain, aku merasa tidak sanggup untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang, sementara keinginan jiwaku adalah kabur dari rumah. Kabur dari tempat yang terasa seperti neraka bagiku.

Malam itu seketika terasa seperti malam kiamat bagiku. Terasa gelap. Kalut. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Entah aku tertidur jam berapa, tiba-tiba adzhan subuh sudah berkumandang. Aku segera bangkit dan melaksanakan kewajibanku itu. Hari ini aku kembali ke lab untuk sekedar menenangkan diri. Hingga malam kembali tiba, jiwaku masih tidak tenang.

Ya, bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku bisa santai? Jika kata pulang membuatku kembali terseret dalam luka lamaku.

Ya, trauma. Aku sangat trauma dengan rumah itu. Pulang adalah hal yang sangat aku ingin hindari. Bagaimana aku tidak trauma jika dari kecil aku sudah diancam untuk di bunuh oleh orang yang seharusnya memberikan rasa aman untukku? Aku sangat trauma dengan ancaman pembunuhan itu, trauma dengan teriakan, trauma dengan bentakan dan lain-lain.

 

Surabaya, 27 November 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar