Pulang?
Pulang.
Sebuah kata yang bagiku amat tidak aku suka. Kamu tahu kenapa? Karena aku
merasa tidak punya tempat pulang. Aku merasa tidak memiliki keluarga. Bukan
karena aku yatim piatu, tapi karena memang rumah rasanya bukanlah tempat pulang
bagiku. Semua itu bukan karena aku berbuat kesalahan fatal lalu diusir dari
rumah. Melainkan aku yang merasakan rumah adalah neraka.
Sore
itu, 27 November 2021, HP-ku berbunyi menandakan ada pesan WA yang masuk. Itu
dari orang yang termasuk aku perioritaskan, kakak pertamaku.
“An,
mantuk disik ya. Iki Mamad yo arep mantuk. Sok ben iso ketemu ndek omah.”,
begitulah tulisann singkat yang aku baca di layar HP kecilku.
Deg.
Hati ini rasanya ngga karuan. Ada sedikit rasa bahagia karena akkhirnya bisa
pulang meninggalkan lab sejenak. Ada rasa bahagia bisa bertemu dengan
orang-orang yang teramat istimewa bagiku. Namun, disisi lain, aku merasa tidak
sanggup untuk pulang. Bagaimana bisa aku pulang, sementara keinginan jiwaku
adalah kabur dari rumah. Kabur dari tempat yang terasa seperti neraka bagiku.
Malam
itu seketika terasa seperti malam kiamat bagiku. Terasa gelap. Kalut. Aku tidak
tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Entah aku tertidur jam berapa, tiba-tiba
adzhan subuh sudah berkumandang. Aku segera bangkit dan melaksanakan
kewajibanku itu. Hari ini aku kembali ke lab untuk sekedar menenangkan diri.
Hingga malam kembali tiba, jiwaku masih tidak tenang.
Ya,
bagaimana aku bisa tenang? Bagaimana aku bisa santai? Jika kata pulang membuatku
kembali terseret dalam luka lamaku.
Ya,
trauma. Aku sangat trauma dengan rumah itu. Pulang adalah hal yang sangat aku
ingin hindari. Bagaimana aku tidak trauma jika dari kecil aku sudah diancam
untuk di bunuh oleh orang yang seharusnya memberikan rasa aman untukku? Aku sangat
trauma dengan ancaman pembunuhan itu, trauma dengan teriakan, trauma dengan
bentakan dan lain-lain.
Surabaya, 27 November 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar