Translate

Sabtu, 17 Desember 2022

Fenomena dan Degradassi Keyakinan

 Fenomena dan Degradasi Keyakinan

By Rinale

#salam_inspirasi

#salam_pembelajar

#salam_baca_tulis

 

Indonesia….. Dahulu kala, sebelum disebut Indonesia, negeri ini sudah berdiri sebagai kerajaan. Sejarah tentang kehidupan kita pada masa lalu sangat begitu terbatas. Catatan dari masa lalu juga ada beberapa yang tidak lengkap. Kebenaran yang sesungguhnya tenntang masa lalu pun seperti apa juga tidak selalu valid. Satu hal yang seyogyanya kita sadari adalah catatan dari masa lalu tidak semuanya adalah kebenaran. Sejak masa dahulu, kita perlu menyadari inti politik adalah kemenangan. Sejarah/catatan akan selalu ditulis oleh mereka yang menang dan tidak jarang akan menyalahkan mereka yang kalah, atau bahkan menghapus cerita dari mereka yang kalah. Tak jarang juga meskipun yang kalah adalah orang-orang yang memegang teguh kebenaran, mereka akan tetap ditulis sebagai yang salah, bahkan orang-orang yang ditulis sebagai yang salah ini juga tidak segan-segan untuk dihapus saja dari catatan sejarah. Fenomena ini yang memerlukan kita sebagai generasi penerus untuk bisa bijak dalah mengenyam apa yang dibawa oleh sejarah.

Satu hal yang jarang kita dapati di sekolah formal adalah bahwa Indonesia itu dahulu merupakan mercususar dunia. Maksudnya yaitu Indonesia pada masa silam adalah negara yang gemar mengarungi lautan. Tidak heran jika Indonesia sempat memiliki lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Apakah lagu ini masih akrab ditelinga kita atau masih sering kita nyanyikan? Atau justeru lagu ini malah sudah sangat asing bahkan kita tidak mengetahuinya? Jika memang lagu ini sudah asing atau bahkan kita tidak pernah tahu, artinya kita benar-benar mulai melupakan sejarah kita sebagai bangsa yang kini menjadi Bangsa Indonesia. Ah, itukan sejarah yang sudah sangat usang, lalu untuk apa kita kaji ulang? Apa ada manfaat yang bisa didapat dari mempelajari masa lalu? Bukankah masa lalu itu bijaknya kita lupakan saja?

Ya, orang-orang bilang masa lalu sebaiknya dilupakan saja. Akan tetapi dari sudut pandang lain, lebih bijaknya lagi, masa lalu tidak perlu kita sangkal apalagi kita lupakan. Yang perlu kita lakukan terhadap masa lalu adalah hanya mengalihkan fokus kita darinya dan beralih fokus menjalani hari ini. Mengalihkan fokus bukan berarti kita tidak melihat masa lalu sama sekali. Mengalihkan fokus disini adalah melihat masa lalu sebagai database untuk kita ambil pembelajarannya. Karena itulah, mempelajari masa lalu asal usul bangsa kita sejak masa silam adalah sesuatu yang bagus untuk kita jadikan sebagai database dan hikmah. Hikmah itulah yang paling penting untuk kita jadikan salah satu poin yang kelak akan kita lihat sebagai lampu lalu lintas kita dalam melangkahkan kaki mengarungi bahtera kehidupan.

Lalu apa tujuan dari mencoba menilik sejarah silam kita di masa lalu yang merupakan mercusuar dunia? Sama sekali tidak ada maksud untuk membawa kita menuju halusinasi dan imajinasi apalagi masuk dunia khayalan bahwa kita adalah penguasa dunia, kita adalah yang terhebat, atau sejenisnya. Sama sekali tidak. Akan tetapi untuk menemukan “why” dahulu kita bisa seperti itu akan tetapi hari ini kita seperti ini. Apakah kita lebih buruk dari masa silam? Jawabannya bisa iya, bisa juga tidak. Dari segi kemajuan teknologi mungkin jawabannya adalah iya. Karena pada masa lalu mungkin belum ada mesin-mesing dan robot-robot cerdas seperti sekarang. Jawabannya juga bisa tidak jika kita menilik dari segi kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual manusianya. Pada masa silam kita bisa melihat betapa banyaknya orang-orang yang dihormati, dituakan, disegani, dijadikan panutan, dan lain-lainnya tidak hanya dilihat dari segi kecerdasan otak/sekolah formal/kekayaan/sejenisnya, akan tetapi dari segi kualitas emosi dan spiritualnya. Pada masa silam orang-orang juga berlomba-lomba untuk bisa mencapai kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual yang tinggi. Kemudian untuk masa sekarang, kita bisa dengan mudah menemukan betapa mudahnya orang dihormati, dituakan, disegani, dijadikan panutan, dan lain-lainnya hanya karena pangkatnya, gelarnya, hartanya, hedonismenya, dan lain-lain sejenisnya.

Hal ini merupakan contoh fenomena betapa jelasnya bangsa ini sedang mengalami degradasi keyakinan. Ketika manusia gagal memiliki kecerdasan mental dan kecerdasan spiritual, manusia benar-benar telah kehilangan kemanusiaannya. Mengapa demikian? Hilangnya kecerdasan spiritual berarti kita melanggar fitroh pertama kita, yakni fitroh bertuhan.  Hal ini juga menyebabkan matinya hati seseorang. Kemudian hilangnya fitroh bertuhan ini juga mampu membuat kita kehilangan kecerdasan mental. hilangnya kecerdasan mental ini mampu menghilangkan kewarasan kita. Hal ini membuat saya berasumsi bahwa, kemungkinan hal ini jugalah yang menjadi pemicu bagaimana manusia itu bisa menjadi psikopat (jika psikopat diartikan sebagai matinya jiwa seseorang). Ketika jiwa seseorang sudah mati sudah bisa diprediksi bahwa kecerdasan intelektual manusia otomatis akan menurun bahkan hancur. Jadi bisa dilihat bahwa matinya hati menyebabkan matinya jiwa, dan matinya jiwa menyebabkan matinya tubuh.

Dari pemikiran-pemikiran yang membuahkan asumsi-asumsi sebagaimana teetulis diatas, bisa kita hipotesakan bahwa fenomena-fenomena hari ini menunjukkan bahwa kita mengalami degradasi keyakinan. Degradasi keyakinan ini mampu melahirkan kematian hati. Kematian hati mampu melahirkan kematian jiwa. Kematian jiwa mampu melahirkan kematian fisik. Atau disingkat rusaknya kecerdasan spiritualisme menyebabkan hancurnya kecerdasan emosional dan hancurnya kecerdasan emosional menyebabkan hancurnya kecerdasan intelektual. Hal ini sangat serius dalam memicu kehancuran umat manusia dan seluruh alam.

 

#tulisan_ini_hanya_torehan_tentang_pemikiran_yang_sedang_berpetualang_memahami_secuil_dari_dinamika_kehidupan.
saran & kritik yang membangun sangat diharapkan. Terima kasih.

Rabu, 07 September 2022

Adab dan Ilmu

Adab dan Ilmu

Kita sepakat bahwasannya ADAB LEBIH UTAMA DIBANDING ILMU. Kesepakatan ini pun tak hanya kesepakatan kita semata, melainkan juga kesepakatan yang berasal dari para pewaris nabi. Nabi sendiri juga menekankan bahwa akhlak itu mencerminkan iman, bahwa yang paling bagus imannya adalah yang paling bagus akhlaknya.

Disisi lain terkadang terlintas sebuah pemikiran, ilmu dan adab ini apakah memang dua hal yang berbeda? Ilmu dan adab apakah dua hal yang saling terpisah? Jika adab saja yang bagus namun tiada ilmu akan jadi apa? Pun jika sebaliknya, ilmu bagus tapi tak ada adab akan jadi apa? Bukankah keduanya sangat berbahaya? Adab bagus akan membuat kita disukai semua manusia, tak hanya manusia mungkin seluruh alam pun menyukai kita, namun jika tidak ada ilmu mana bisa adab itu terbentuk? Atau jika adab bagus namun tak ada ilmu, hal positif yang kita miliki dari adab bagus ini mau ditujukan untuk apa? Bukankah bisa-bisa ditujukan unttuk kemungkaran juga? Sebaliknya, jika ilmu saja yang bagus sudah pasti kita tahu akan secerdas apa seluruh manusia namun jika adab ditinggalkan kita juga sudah tahu sehancur apa kehidupan manusia itu yang diakibatkan ilmu tanpa adab.

Poin lainnya, ilmu bukankah suatu hal yang membangun adab? Tanpa ilmu mana bisa adab terbentuk? Jika adab tidak terbentuk bagaimana bisa tercipta sebuah peradaban? Jika tak ada peradaban, lantas kehidupan ini untuk apa? Jika kita menganggap adab dan ilmu adalah dua hal yang terpisah, rasanya sulit sekali untuk menyatukan ilmu dan adab atau lebih tepatnya menghargai ilmu dan adab sebagai satu paket lengkap.

ADAB MEMANG LEBIH UTAMA DIBANDING ILMU BUKAN BERARTI ADAB DAN ILMU ADALAH DUA HAL YANG TERPISAH. Ilmu adalah hal yang mendasari terbentuknya adab. Adab adalah pondasi terwujudnya peradaban. ATAU DENGAN KATA LAIN MUNGKIN BISA DIKATAKAN ORANG TIDAK LAYAK MENYEBUT DIRINYA BERILMU JIKA DIRINYA TIDAK BERADAB, dan sudah pasti tidak layak seseorang berkata memiliki/mengikuti peradaban jika ia sendiri tidak beradap sebab jika tidak beradap juga tidak akan ada peradaban.

Jika adab boleh dirombak jadi dua hal kelompok ilmu, untuk lebih tepatnya mungkin ilmu tersebut bisa dikelompokkan menjadi ilmu dasar dan ilmu pengembangan. Ilmu dasar adalah ilmu akhlak yang mana ilmu ini akan menuntun si penuntut ilmu beradap dan ilmu pengembangan adalah ilmu-ilmu lainnya seperti ilmu fisika, kimia, matematika, biologi, hadits, fiqih, dll yang mana ilmu ini akan menuntun adab menjadi peradaban. Jika kita sudah belajar ilmu dasar maka kita wajib belajar ilmu pengembangan. Dua ilmu ini adalah pondasi manusia untuk membentuk peradaban. Peradaban yang baik sudah pasti harus dibentuk dengan komposisi yang baik. Jika komposisi peradaban adalah pondasi peradaban tersebut, yakni ilmu dasar dan ilmu pengembangan, maka kedua ilmu tersebut harus baik. Ilmu pengembangan sudah pasti harus mematuhi ilmu dasar, sebab sesuai hukum yang kita sepakati hal-hal yang berada dalam ranah pengembangan itu tidak boleh melawan hal-hal yang berada di ranah dasar. Sebagai contoh ilmu dalam ranah pengembangan adalah kloning, dan ilmu dalam ranah dasar semisal tentang akhlak berketurunan, maka sudah jelas kloning tidak boleh melanggar akhlak berketurunan tersebut agar peradaban tercapai karena memang dibangun dengan adab.

Dengan demikian, bisa disebut bahwa adab adalah ilmu (yakni ilmu akhlak/ilmu dasar) dan ilmu (baik ilmu dasar maupun pengembangan) itu adalah adab itu sendiri. Jika ada orang berilmu namun tidak beradab, ada hal yang perlu dipertanyakan, yakni apakah dia benar-benar sudah berilmu atau ia hanya berilmu disebagian saja, alias ilmunya tidak lengkap. Jika kita tahu ada orang yang ilmunya kurang lengkap, itu adalah tugas kita bersama untuk saling berbagi ilmu, bukan mengata-ngatai bahwa si a tidak punya adab, si b tidak beradap, si c tidak berilmu, si d goblok, etc.

Tulisan ini hanya sebuah uneg-uneg agar kita tidak terlalu memisahakan ilmu dan adab. Penulis hanya ingin menegaskan bahwasannya ilmu dana dab itu dua hal yang saling terkait satu sama lain, tidak bisa dipisahkan. Selamat merenungi dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Salam BACA-TULIS.


Kamis, 04 Agustus 2022

Antara Dia, Aku, & Mereka

Hari, tanggal   : Jumat, 5 Agustus 2022

Judul buku      : Antara Dia, Aku, & Mereka

Tebal halaman : 227 halaman

Pengarang       : Felixsiauw dan Hawaariyyun

Sinopsis           :

            Terlalu lama kita hidup dalam gelap akan membuat kita kesulitan melihat apa yang ada dalam terang hingga kita perlu membuka tirai penutup cahaya agar cahaya tersebut mampu memasuki ruangan gelap kita. Jika logika matematika memastikan bahwa 1+1=2 merupakan nilai  yang mana hanya mampu kita kreatifitaskan angka-angkanya agar tak lagi membentuk pola yang seperti itu, yakin adalah pondasi dasar yang mempu memunculkan kreatifitas tersebut. The power of percaya diri & menyadari sesuatu yang ada pada diri adalah kunci untuk memulai sebuah perubahan dan setia pada “berharap untuk lebih baik” adalah kunci untuk setia pada perubahan. Perubahan bisa berjalan jika kita melepaskan beban/keterikatan pada hal-hal yang ada di sebelumnya. Satu hal yang perlu kita tahu adalah bahwasannya sesuatu di luar diri tidak berada dalam kendali kita dan sesuatu di dalam diri berada dalam kendali kita. Melepaskan sesuatu bukan berarti kita membencinya, hanya saja memberikan ruang agar tak saling memberikan luka dan meninggalkan sesuatu bukan berarti kita tak suka, hanya saja memberi ruang untuk belajar. Begitulah masa lalu sebaiknya mendapatkan bagian, ia tak perlu kita lupakan, karena ia adalah bagian dari diri kita, ia hanya perlu kita rawat agar menjadi selesai hingga kita bisa kembali melangkah tanpa lagi dihantui tuntutan atas hak dari diri di masa lalu kita.

            Hidup di masa lalu tidak releven untuk kita di saat ini, begitu pula hidup di masa depan juga tidak relevan di masa kini karena kedua hal ini akan menjadikan diri kita toxic untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Satu-satunya kehidpan nyata adalah detik ini. Lantas kenapa kita harus jadi bodoh dengan hidup bukan di detik ini? Kita mau hidup di masa mana adalah kendali kita, karena kita tahu tak ada seorang pun yang benar-benar bersama kita karena kita hidup dalam kesendirian, atau kasarnya adalah mandiri. Jadi berhentilah berpikir bodoh dalam hidup ini.

            Awal itu ujung dari akhir. Itulah kenapa pertemuan akan menemui perpisahan dan kebersamaan akan menemui perseteruan. Semakin kita paham sesuatu semakin banyak yang kita tidak tahu pun semakin jauh kita melangkah semakin banyak area yang belum terjamah. Perlu juga kita sadari bahwa akhir adalah awal dari sesuatu yang lain. Bukankah begitu dengan perpisahan dan perseteruan yang pernah kita alami? Sendiri memang lebih cepat. Namun bukankah ini menunjukkan jelas betapa tidak sabarnya kita sebagai manusia? Sering kita lupa bahwa hal paling indah adalah saat kita menikmati masa kini, hidup di masa kini, bukan sibuk dengan masa lalu atau pun masa depan.

            Tak perlu setiap kita menjelaskan, namun setiap kita perlu untuk paham. Inilah alasan kita diciptakan dengan komponen yang sama. Saat kita berada dalam titik terendah, sejatinya ini adalah pendidikan termahal yang kurikulumnya didesain oleh sang Mahamendesain. Kurikulum ini masihkah tak mampu menjawab “Siapa aku? Mengapa aku ada? Apa aku punya tujuan tertentu di dunia? Dan setelah mati apakah keadaanku?”. Keberhasilan kita menjawabnya memang memerlukan waktu. Setiap kita memang memiliki waktu kita sendiri-sendiri. Ia mengajari kita dengan tanda-tanda-Nya karena Ia memang mengajari kita untuk hidup seutuhnya. Jika pembelajaran dengan kurikulum ini terasa berat, mungkin itu hanya karena kita belum menemukan metode yang cocok untuk diri kita. Lagi-lagi Ia mengajari lewat tanda-tanda agar kita bisa fokus pada proses. Jika kita sudah berhasil belajar dalam kurikulum ini, kita akan tahu betapa dunia ini bergantung bagaimana kita bersikap. Jika kita tertutup maka dunia ini juga akan tertutup dan kita tak akan melihat apapun, sebaliknya jika kita terbuka maka dunia ini juga akan terbuka dan kita akan melihat banyak hal di luar sana.

            Lantas jika memang ada sang Mahamendesain kurikulum, mengapa kita tidak berharap pada-Nya? Kenapa kita ragu jika kita tahu Ia yang Mahamendesain kurikulum untuk kita? Bukankah pembelajaran kita sudah pasti benar? Tentu semua itu jika kita tetap setia sebagai pembelajar. Ganjaraan akhirnya adalah kebahagiaan. Jika kita berhasil bahagia, tentu mudah bagi kita membagikan kebahagiaan. Pun dengan cinta. Mencintai itu pasti akan mudah bagi kita jika kita merasakan dicintai. Yang perlu kita ingat, dicintai itu mudah jika kita sadar bahwa kita memang memerlukannya. Dicintai paling indah adalah dicintai oleh-Nya. Jika dirasa berat, perlu kita ingat, kepompomg menjadi kupu-kupu memang perlu mennjalani puasa yang berat.

Minggu, 03 Juli 2022

Trauma Agama ?

Trauma Agama ?

(by : me @salam baca-tulis)

Juli 2022

 

Trauma dan agama. Dua kata yang terdengar ganjil sekali. Trauma agama. Fenomena yang rasanya asing sekali dalam  kehidupan ini.

Menilik sebuah sejarah yang pernah saya baca, ada sebuah ide yang hari ini menjadi sebuah hipotesa bagi saya. Ide pokok hipotesa tersebut adalah “Trauma Agama”. Cerita tentang abad kegelapan Eropa, dimasa dominasi gereja dalam system kehidupan Eropa sangat jelas dan sewenang-wenang, padahal pada masa yang sama sejarah juga mencatat bahwa pada masa ini ada wilayah tetangga yang terang benderang dan didominasi sesama agama samawi, yakni Islam. Dari sini kita sama-sama tahu bahwa pada masa tersebut ada dua wilayah bagian bumi ini yang sama-sama didominasi agama samawi akan tetapi sangat jauh berbeda keadaannya. Agama samawi Kristen Katolik yang mendominasi kekuasaan Eropa pada masa itu nyata sekali menjadikan Eropa mengalami masa kegelapan. Petuah yang intinya melawan raja adalah melawan tuhan sempat menjadi quotes yang beredar pada masyarakat kegelapan Eropa. Disisi lain, bisa kita lihat Agama Samawi Islam yang menguasai saat itu turut menguasai daerah lain memberikan kejayaan yang luar biasa bahkan banyak penemuan ilmu pengetahuan yang saat ini kita kenal dengan sains muncul disana.

Menilik cerita dominasi agama islam yang menguasai dunia, kita tahu salah satu hal mengejutkan yang rasanya tidak masuk akal, yakni penghancuran baitul hikmah dan buku-buku tulisan orang-orang yang memang berbahasa Arab yang ada di baitul hikmah pada masa kejayaan islam sementara Eropa masih masa kegelapan. Hal ini membuat saya menduga-duga pasti ada sesuatu yang janggal, ditambah lagi ditemukannya beberapa fakta ditulisnya kembali penemuan-penemuan muslim tersebut dalam bahasa yang tidak lagi bahasa alinya juga nama penemu-penemunya yang dirubah sehingga tidak lagi menunjukkan bahwa sang penemu tersebut beragama islam atau dari kalangan islam. Kalo pembantaian dan perebutan bangunan, saya masih bisa melogika, akan tetapi kalau penghancuran buku-buku bagi saya agak sedikit aneh. Hal tersebut bagi saya berarti tidak hanya merebut kekuasaan khilafah, namun juga menghancurkan sebuah ajaran agama islam.

Hal kecil tersebut membuat saya memiliki sebuah pemikiran bahwasannya jejak kejayaaan islam sengaja dihapus oleh pihak yang membenci islam dan tidak pernah menginginkan islam bangkit menguasai dunia kembali. Padahal, jika dipelajari lebih dalam, islam itu sangat kompleks dan sangat detail dalam menuntun manusia untuk menjadi manusia yang sehat, sukses dan bahagia di dunia ini hingga akhirat. Islam mengajarkan bagaimana manusia itu tetap pada fitrohnya. Islam juga mengajarkan bagaimana manusia itu agar tetap menjadi manusia.

Akan tetapi, pada kenyataannya, dalam kehidupan nyata tak sedikit saya jumpai kampanye-kampanye radikalisme. Awalnya saya sendiri memiliki pandangan kurang baik terhadap islam karena framing radikalisme tersebut. Setelah sedikit demi sedikit mencoba mengenali islam yang sesungguhnya itu seperti apa, sungguh, logika dan pikiran yang ada di kepala ini menolak pernyataan islam itu radikal, islam itu teroris atau sejenisnya sebagaimana yang pernah saya dapati di media-media. Justeru, saya dapati islam itu sangat anggun pada seluruh manusia, tak hanya manusia pada hewan, tanah, udara, tumbuhan dan lainnya. Saya memiliki pemikiran seandainya saja semua manusia menerima dan mempelajari islam yang memang di bawa rasul Muhammad, saya yakin kehidupan ini sangatlah damai dan sejahtera. Semua manusia tetap pada koridor fitrohnya dan tetap menjadi manusia (tidak kehilangan kemanusiaannya).

Tentu saja, di lembaga pendidikan formal yang pernah saya lewati, saya tidak pernah mengetahui bahwa islam itu sebenernya sebagus itu ajarannya. Baru setelah bisa bertemu banyak orang dari ragam yang berbeda-beda, saya baru sedikit bisa sadar, ternyata islam itu sebagus dan sebaik itu. Fakta ini membuat saya berpikir, kenapa di lembaga pendidikan formal saya tidak mendapatkan pendidikan islam yang sebagus dan sebaik ini? Bahkan selengkap ini? Asumsi saya mungkin karena memang islam tidak diharapkan untuk eksis dan tenar sebagaimana eksis dan tenarnya islam di masa kejayaan islam pada saat Eropa dilanda abad kegelapan.

Bagaimanapun juga, bagi kita yang benar-benar masih menyadari dirinya bukan hanya sebatas apa yang bisa dilihat (tubuh/fisiknya, penampilannya, karyanya) dan bukan apa yang masih bisa diukur (seperti kemampuan logika pikiran dan bagaimana mengolah perasaan marah, dll), niscaya kesadaran bahwa dia merupakan ruh itu pasti akan disadarinya. Segala sesuatu itu diciptakan, begitu juga ruh tersebut. Ruh juga diciptakan. Jika kita menyadari ini niscaya keberadaan tuhan itu pasti tidak akan lagi bisa ditolak oleh kita karena kita adalah manusia. Jika kita menyadari hal ini, kita pasti tidak akan pernah menolak bahwa hidup kita diatur oleh ajaran tuhan yang diturunkan berupa wahyu kepada para nabi & rasulnya.

Menilik keberhasilan ajaran wahyu yang disampaikan rasul Muhammad, saya heran mendapati banyaknya manusia yang menolak diberlakukannya islam dalam seluruh lini kehidupan dan tidak jarang penolakan tersebut juga dari orang-orang yang memilih islam sebagai ajaaran/agama/paham yang dianutnya. Terkadang saya menebak-nebak bahwa jangan-jangan penolakan kita diatur dengan ajaran tuhan dalam seluruh kehidupan kita adalah manifestasi kita mengidap virus trauma. Yaitu trauma agama yang dialami oleh orang-orang pada masa kegelapan Eropa yang memang pada saat itu juga didominasi gereja. Jika dilihat Kristen Katolik dan Islam sama-sama agama samawi (Tuhannya Allah). Bisa jadi karena hal ini, kita trauma. Berdasar ilmu psikologi, yang saya tahu trauma itu memang menular dan memang bbisa menjadi turun-menurun. Trauma ini seperti penyakit. Saya berasumsi bahwa kita sedang menjadi korban trauma agama yang dialami orang-orang di abad kegelapan Eropa dulu. Jika kita tidak berupaya menyembuhkan diri dan saling membantu kesembuhan satu sama lain, entah sampai sejauh mana lagi virus trauma ini menyerang manusia.

 

Yeach, semua yang saya tulis ini hanya berdasar pemikiran sendiri setelah menerima beberapa informasi yang ada. Semua yang saya tulis hanya hipotesa belaka. Saya tidak melakukan riset apapun, sehingga kemungkinan benar : kemungkinan salahnya adalah 50%:50%. Jadi, pembaca yang bijak, selamat bereksplorasi lebih lagi agar bisa mengetahui kebenaraan sejati. Saya juga tolong diberitahu sebuah kebenaran yang saya luput saat ini. Terima kasih. Salam Baca-Tulis.

 

Minggu, 19 Juni 2022

Yaweslah

 Yaweslah

(dalam Bahasa Indonesia berarti "yasudahlah")

Surabaya, Juni 2022

 ***

"Yaweslah. Satu kata yang berhasil membuatku menjadi sembuh total. Ngakak engga? Bagaimana tidak? Sekian tahun, sejak 2018 silam, aku menjalani treatment kesembuhan mental. Ah, lebai amat bilang treatment kesembuhan mental. Dari pada menyebut itu, mending sebut saja proses menyembuhkan hati yang terluka. Ceileh, patah hati banget ya kayaknya. Hahahahahhahahaha........", batin Riri.

 ***

Yaweslah adalah kesimpulan akhir dari seorang Riri yang berhasil bertahan hidup dan berhasil melewati masa sakit mentalnya - depresi. Tidak hanya itu, kata itu juga berhasil mengantarkannya menuju perbaikan diri yang jauh lebih baik dan lebih uar biasa. Bagaimana itu bisa terjadi?

 ***

Riri adalah anak kecil yang hidup dalam didikan orang tua yang masuk dalam golongan otoriter. Keras adalah kata yang mungkin bisa cukup mewakili bagaimana Riri dididik oleh orang tuanya, terutama sang ayah yang memang paling terkenal otoriter lagi didikan tentara masa old yang super tegas, disiplin & tidak ragu-ragu jika menjatuhkan hukuman. Otoriteritas ini juga menjadikan Riri menjadi anak yang mandiri. Selain itu juga menjadikan Riri terbiasa hidup dengan tekanan dan tuntutan. Pada akhirnya membawa Riri tumbuh menjadi orang yang perfeksionis. Bisa dibilang, menjadi yang terbaik dalam segala hal, menjadi sosok sempurna adalah sesuatu yang menancap kuat pada diri seorang Riri. Tidak jarang hal semacam inilah yang sering kali membawa seorang Riri memiliki prestasi meskipun tidak sampai tingkat yang mampu mencengangkan orang-orang. tak hanya itu, dari sisi mental, Riri tumbuh menjadi orang yang bisa dibilang tahan banting dan tahan tekanan ketika dihadapkan dengan urusan dunia luar rumahnya. Mental baja itu juga membuat seorang Riri mampu dengan santai menghadapi  orang lain yang melepaskan energi negatif di hadapannya, seperti kemarahan orang, cacian orang, makian orang dan sebagainya. Riri tidak pernah tumbang hanya karena dilabeli buruk oleh orang. Memang sungguh bagus dan keren sih hasil didikan yang diberikan oleh orang tua dan keluarga Riri tersebut. 

 

Akan tetapi, ada satu sisi yang justeru membuat seorang Riri jatuh ke titik terendah kehidupan. Ia adalah manakala pikiran tak tentu arah, perasaan terluka ruam hingga jiwa tak lagi mampu melihat warna. Sebuah didikan yang begitu terlalu keras membuatnya merasakan luka. Luka dalam yang tidak pernah diungkap ke permukaan sebab tiada tempat untuk memperlihatkan luka. Jiwa kemandirian yang terbentuk membuatnya terbiasa sendiri mengatasi semua permasalahan hingga membuatnya terbiasa sendiri dengan lukanya. Sisi lain yang perlu disadari adalah setegar apapun manusia, ia tetaplah manusia yang tidak bisa sendirian. Ia tetaplah manusia yang membutuhkan sandaran. Itulah problem terbesar yang riri sendiri tidak menyadarinya dan tidak pula tahu harus bagaimana dalam problem terbesarnya. Hal yang ada dalam kepala Riri adalah ia harus menyelesaikan sendiri semuanya.

 

Sepositif apapun manusia, ketika ia sedang menjalani masa kritisnya, ia akan menjadi manusia yang memang sangat memerlukan pelukan hangat. Usia 20-an tahun adalah usia dimana manusia mengalami masa kritis pertmanya. Usia ini membutuhkan kehadiran orang yang memang lebih dewasa dan memang sangat penting sebagaimana anak bayi atau anak kecil yang sangat memerlukan kehadiran orang lain disekitarnya. Keluarga memang menjadi solusi dalam hal yang seperti ini. Bukan karena keluargalah yang pasti bisa memberikan jalan untuk keluar dengan sangat kilat dari masa kritis ini, namun karena keluarga adalah yang menjadi charger energi sehingga kekuatan kita bisa kembali pulih 100%. Sayangnya, hal itu tidaklah dimiliki oleh Riri. Keluarga yang seharusnya menjadi rumah tempat pulang malah bagaikan penjara yang bagai tidak berperikemanusiaan.

 

Hari itu Riri tak lagi mampu menggunakan pikirannya dengan baik. Perasaannya juga tak lagi bisa berjalan dengan baik. Jiwanya pun juga tak lagi berfungsi dengan baik. Alhasil, selesai hidup sebelum waktunya adalah hal yang menjadi kesimpulan dari segala database yang berada di kepala seorang Riri. Beruntung, intuisi itu tidak mati. Signal yang memberikan peringatan tentang hal-hal yang tidak begitu baik-baik saja itu masih bisa terdeteksi oleh kesadaran Riri yang entah tinggal seberapa persen. Meski kecil, hal tersebut mampu membawa seorang Riri yang memang memiliki kepribadian pantang menyerah untuk berjuang kembali menjadi baik-baik saja dan kembali menjadi normal.

 

Beragam cara Riri tempuh, bahkan cara yang dilarang dalam agamanya sendiri pun ditempuhnya demi berthan hidup. Ketika curhat pada Sang Pencipta tidak membuatnya serta merta langsung sembuh seketika, maka menjadikan Riri menempuh jalan curhat kepada sesame manusia. Memegang syariatnya bahwa perempuan dan laki-laki non mahrom tidak dibolehkan untuk curhat-mencurhat, Riri mencoba memberitahukan hal tersebut kepada sahabat dan teman sesame perempuannya. Harapan Riri adalah sesame perempuan bisa memberikan setidaknya pengertian atau setidaknya pelukan hangat untuk menenangkan, terlebih lagi jika bisa menguatkan kembali mental seorang Riri yang memang sedang goyah. Bagaimanapun harapan hanyalah harapan. Syariat tersebut pun akhirnya dilepaskan oleh riri dan diterabasnya. Laki-laki non mahrom tidak lagi ada dalam kamus hidupnya kali ini. Riri menempuh jalur kenekatan untuk mendapatkan pertolongan tentang mental health-nya. Beruntung, ada 1 teman laki-laki dari SMA yang pernh di lewatinya yang membantunya berhasil kembali menjadi sedikit lebih waras, setidaknya mengembalikan seorang Riri untuk mencoba menemukan jalan lain dalam mengatasi luka hatinya, jalan yang kini belum terpikirkan dan yang pasti bukan menyudahi hidup yang belum waktunya.

 

Satu teman laki-laki itu masih belum cukup bisa membuat Riri menyelesaikan dengan baik akan luka hatinya itu. Professional menjadi jalan yang paling tepat untuk meneruskan perjuangan seorang Riri mengatasi luka hatinya. Entah berapa uang yang harus Riri keluarkan demi obat penenang (psikoterapi) dan juga demi konseling atau sekedar cerita membuang stresnya. Perjuangan yang memang memakan waktu cukup lama itu pun tidak dipungkiri membawa sebuah kejenuhan. Tibalah sebuah titik dimana satu-satunya teman laki-laki yang membantunya itu pun memutuskan untuk berhenti membantu Riri untuk sembuh.

 

Seorang Riri tetaplah seorang Riri. Didikan yang memang penuh tuntutan menjadikan seorang Riri juga menuntut dirinya sendiri harus berhasil menyelesaikan perjuangannya selama ini untuk menyembuhkan luka-luka hatinya itu. Sendiri Riri memutuskan untuk mencoba menarik keluarganya, tempat dimana dia merasakan semua luk-luka itu. Riri yang memang masih tidak baik-baik saja akhirnya memutuskan untuk menantang ketidakbaik-baik sajaannya itu. Ia pun menyatakan semua itu pada sang keluarga. Orang yang tidak menyadari bahwa dia melukai orang lain tetaplah tidak merasa bahwa dia telah bersalah. Orang yang tidak pernah mengalami luka yang sama tetaplah tidak akan pernah mengerti dengan paham betul bagaimana dalam dan cukup berartinya luka itu. Fakta mencengangkan pun Riri peroleh dari keluarganya sendiri. Bagi keluarga Riri, sakit mentalnya, depresinya, hanyalah sebuah “kesurupan” yang sedang dialami oleh seorang Riri.

 

Hancur memang sungguhan dirasakan oleh seorang Riri. “Bagaimana mungkin jika Riri memang kesurupan maka Riri diberikan obat terapi psikologi? Jika Riri memang beneran kesurupan bagaimana mungkin ayat-ayat Tuhan yang memang pada masanya difungsikan untuk “ruqyah” tidak membuat Riri memberikan efek yang memang ditunjukkan oleh orang-orang yang kesurupan? Apakah mereka tidak menganalisis hal tersebut?”, demikianlah hal-hal yang memang sedang merajai pikiran dan perasaan Riri juga mengguncang jiwa seorang Riri buat saat ini.

 

Kecewa. Marah. Hal yang merajai Riri selama satu bulan penuh dalam menjalani harinya pasca kejadian yang begitu mencengangkan dari keluarganya sendiri. Berat memang terasa karena Riri yang biasanya memiliki 1 teman laki-laki dari SMA yang sama untuk bercerita ini itu kini tidak lagi ada. Psikolog adalah hal yang menjadi andalah Riri ketika sudah tidak tahu lagi harus bagaimana. Meski Tuhan adalah yang pertama di kontak oleh makhluk, semua hal yang menjadi takdir-Nya memang harus memenuhi hukum sebab-akibat-Nya. Lari ke psikolog adalah pilihan paling berlogika dan paling sadar dalam keadaan yang seperti ini.

 

Pada akhirnya, yaweslah adalah sebuah kesimpulan luar biasa yang memang Riri ambil dan pilih. Yaweslah adalah yang membuat Riri benar-benar merasa sudah berhasil menyembuhkan luka-luka hatinya yang memang begitu dalam dan mengguncang jiwanya. Yaweslah aalah sebuah perwujudan keadilan. Adil dalam menghargai dan mencintai. Menghargai dalam artian menerima keburukan dan kebaikan. Mencintai dalam artin meneruskan keburukan dan kebaikan. Yaweslah dalam makna bahwa diri sendiri memang harus berjuang sendiri karena memang hanya diri sendiri yang bisa membantu diri sendiri. Yaweslah adalah perwujudan kebenaran bahwa tiada seorang pun yang bisa memahami kita kecuali diri sendiri. Yaweslah adalah sembuh. Sembuh adalah pilihan Riri hingga pada akhirnya Riri memang benar-benar sembuh. Berhasil kembali bahagia menjalani hidup. Berhasil kembali menubuhkan sayap yang sangat kuat agar dirinya bisa terbang bebas kemanapun yang memang Riri inginkan. Kembali hidup santai dan ber-haha-hihi. Yaweslah adalah iman kepada Tuhan.

 

***

Selesai J

PERHATIAN!

mohon maaf, beberapa kalimat dan pernyataan dalam tulisan ini memang menuntut  pembaca membaca dengan pemahaman yang mendalam, baik terkait pemahaman tentang agama, falsafah hidup, situasi, kondisi, psikologi dan lain-lainnya

terima kasih

Sahabat Perjuangan

 Pernah terlukis kisah
Alurnya nan indah
Curahan kita
Terpaut ikatan satu jiwa
 
Tangis tawa milik kita
Duduk lari milik kita
Beratap pegangan erat
Bernaung persaingan dalam cinta
 
Waktu tak pernah mampu kau korupsi
Jarak tak bisa diraut
Kita terlupa
Tak saling sapa apalagi kenal
Kita adalah orang asing, dulu
Kini kembali saling asing
 
Bayu menyanyi
Tanda ia berkabung
Pertiwi tebahak-bahak
Tanda ia mengejek
Atas kebodohanmu tersesat. Cinta. Rasa.
 
Deras arus nurani
Meronta dalam sakit, menata diri
Kita tetap saling berlari
Menuju kompas sendiri
Tak menyatu lagi
Demi sebuah mimpi, memiliki


 Kota1001Goa, 2015
Nana-Riwayat N.L.

Cinta yang Salah

Aku mulai terlupa
Kala kalbu ini terluka, dulu
Entah karena apa terlalu percaya, mungkin
Ketulusanku memprasasti, sirnalah curiga
Berhadiah gudang tipu daya, nyatanya
 
Aku memang mulai terlupa
Tapi…..
Luka itu membekas
Kalbu itu pun tak mau lagi percaya
Ruh itu pun gelisah, mengeras, ganas
Layaknya singa kelaparan
 
Aku sudah terlupa
Kalbu memutih
Melepas yang tak pantas
Memaafkan
Mengikhlaskan
Tak berbekas
Berkelas
 
Kini ku terbang bebas
Sembah terima kasih pada semua
Sebab tinta berwarna yang dituangkan
Terukir dalam sebuah kisah
Rangkaian alur yang teramat indah
Maaf, atas goresan luka di hatimu
Cinta


Kota 1001 Goa, 2015

Nana-Riwayat N. L.