[Waktu liburan semester kelas X dulu,
aku dan temen-teman pergi berlibur ke istana pemerintahan di negara kami. Kami
memilih ke tempat itu agar kami mendapat pengetahuan sehingga kami terdidik. Di
sepanjang perjalanan canda dan tawa riang kami luapkan bersama-sama.]
Aku : “Beri tau aku jika kamu lihat!” (duduk sambil bermain game di
Hp)
...... : “Beri tahu apa?” (memandang si aku dengan penasaran)
Aku : “Itu sampah atau apa sih?” (penasaran)
...... : “Jelas itu adalah sampah.” (mengalihkan perhatian dari si aku)
Aku : “Mengapa di jalanan dan di
selokan penuh dengan sampah
ya?”
...... : “Karena warga di daerah sini
suka membuang sampah
sembarangan.”
Aku : “Bahkan di laci meja pun penuh
sampah.”
...... : “hahhhh.... Masa??? Kamu
ngaco ya?” (keheranan)
Aku : “Iya, aku serius. Kamu tidak
percaya? Di dalam bus, truk, dan
angkot
pun ada sampah.” (menghentikan gamenya
dan memasukkan HP-nya ke dalam tas.)
...... : “wahh... Negeri kita memang
sangat kaya di dunia. Sayangnya
kekayaan
kita adalah sampah.”
Aku : (mengambil makanan dari tas dan memakannya) “Bisakah
kamu
memberi tuhuku tentang pendapatmu?”
...... : “Pendapat tentang apa?” (agak sinis)
Aku
: “Menurutmu, negeri kita ini apakah negeri sampah?”
(penasaran)
...... : “Tentu saja iya.”
Aku : “Lautan sampah?” (terkejut)
...... : “Iya.”
Aku : “Gunung sampah?” (terbelalak)
...... : “Iyalah.”
Aku : “Apakah juga negeri tong
sampah?” (menyodorkan makanan
pada ......)
...... : “Itu sangat benar.” (mengambil makanan yang disodorkan aku)
[Perjalanan
pun berlanjut hingga tinggal beberapa menit lagi untuk sampai di isana
pemerintahan negara. Canda dan tawa mereka pun terhenti beberapa saat karena
perasaan heran yang memenuhi hati mereka.]
Aku : (mengambil kamera dari tas dan memotret sekitarnya)
“Hemmhhhh.......
Banyak sekali tempat orang berkumpul digunukan untuk tempat sampah.”
....... : “Memengnya dimana kamu
menemukan sampah salain yang
kamu
sebut tadi?” (penasaran)
Aku : “Di kursi restoran dan hotel
berbintang pun ada sampah.”
...... : “Lalu dimana lagi?”
Aku : “Di meja direktur, tempat
penyeberangan, dan bawah pos
satpam
juga ada sampah.” (memasukkan sampah
jajannya ke tempat sampah yang telah di sediakan di mobil)
...... : “Aduh benar-benar tidak enak
di pandang mata dan membuat
hati
tidak nyaman.”
Aku : “Benar. Itu sampah atau apaan
sih?”
...... : “Jelas sekali bahwa itu
adalah sampah. Apakah di tempat lain
masih
ada sampah?”
Aku : “Tentu saja ada. Di ruang sidang
ada sampah. Di ruang tunggu
rumah
sakit juga ada sampah.”
...... : “Di pusat kesehatan pun
banyak sampah di sana-sini?
Pantas
saja orang-orang di negeri kita, jika sakit dan berobat ke rumah sakit tidak
kunjung sembuh, tapi malah meninggal sekalian.”
Aku : “Tidak hanya di dua tempat itu
saja, di atas pot bunga
sekolahan
pun juga ada sampah.”
...... : “Yang benar saja kamu itu?
Masa iya sih? (terbelalak keheranan)
Aku : “Aku bicara betul. Dan itulah
kenyataannya saat aku melihat-
lihat
ke sejumlah sekolah yang ada di negeri kita ini, sampah ku temukan di segala
penjuru.”
...... : “Ohh pantas saja banyak orang
yang sekolah di zaman ini itu
kalau
sudah lulus yang di bawa bukan ijasah, melainkan sampah yang telah lama mereka
tabung beratus-ratus hari.”
Aku : “Sungguh, sampah sudah
merajalela dan menjadi sahabat
manusia.”
(sambil menggeleng-gelengkan kepalanya)
[Akhirnya,
mereka pun tiba di tempat wisata yang mereka tuju untuk yang pertama kalinya
itu. Dengan senang si Aku dan temen-temannya itu menuju dalamnya istana.]
Aku : “Di istana orang utama negeri
sebesar ini apakah juga ada
sampah
ya?” (sambil menoleh pada si ...... dengan tatapan datar sambil
berjalan masuk ke istana)
...... : “Tadi kan kamu mengatakan
sampah sudah merajalela dan
menjadi
sahabat manusia, berarti dimanapun itu, pasti ada sampahnya. Termasuk di dalam
istana presiden ini juga. Bisakah kamu memastikan bahwa disini juga ada
sampah?” (memotret suasana di halaman
depan istana)
Aku : “Tentu saja” (sangat yakin) “Pada siang hari itu, aku
masuk
ke dalam istana ini didampingi oleh penjaga istana dan aku menelusuri setiap
sudut di istana ini. Dan ternyata, sampah pun tak punya malu di tempat yang
sangat megah ini.”
...... : “Di sudut-sudut istana pun ada
sampah?” (haran seolah tak
percaya) “Dimana saja itu?”
Aku : (menunjuk ke bawah tiang bendera) “Itu adalah sampah.”
...... : “Dimana lagi sampah itu kamu
temkaan?” (penasaran)
Aku : “Lihatlah!” (menunjuk gerbang MPR) “Kantong plastik itu
bukankah
sampah?”
...... : “Tentu saja itu adalah
sampah.”
Aku : (bingung)
...... : (memperhatikan si aku) “Kenapa kamu terlihat bingung?”
Aku : “Apakah di kursi-kursi parlemen
ada sampah pula?”
...... : “Jelas ada.”
Aku : “Coba tunjukkan kepadaku!” (penasaran)
...... : “Lihatlah sendiri kesana!” (menunjuk ke dalam ruangan
parlemen)
Aku : “Lihat apa?”
...... : (tarik napas panjang dan menghembuskannya) “Katanya tadi
sampah.”
Aku : “Akukan menyuruhmu untuk
menunjukkannya kepadaku.
Mengapa
kamu malah menyuruhku untuk melihatnya sendiri? Apa kamu tidak berani?”
...... : “Siapa yang tidak berani? Aku
berani saja. Mengapa harus
takut?
Memangnya sampah itu hantu apa?” (agak
kesal)
Aku : “Coba lihat dan tunjukkan
kepadaku! Aku ingin tahu dan
melihatnya.”
...... : “Ayo kita masuk! Itu sampah
ada di ujung sana dan ujng sini
bukan?
Sudahkah kamu puas atas jawabanku?”
Aku : “Ohhhh....... Sungguh.......” (heran sambil menggeleng-
gelengkan kepala)
...... : “Kenapa?” (merasa aneh)
Aku : “Sampah sudah menjadi
bunga-bunga nusantara.”
...... : “Mengapa kamu mengatakan
bahwa sampah menjadi bunga-
bunga
nusantara? Apa alasanmu?”
Aku : “Karena sampah ada dimana-mana.
Apakah di dalam mulut
manusia
pun juga ada sampah?” (penasaran)
....... : “Kalau kamu menyimpulkan
sampah ada dimana-mana, berarti
di
dalam mulut manusia pun juga ada ampahnya.”
Aku : “Periksalah dulu sekarang!!!
Cepat!!! Jika tidak ada, syukurlah.”
...... : “Itu sama sekali tidak benar,
karena banyak sekali sampah dari
dalam
mulut manusia yang berserakan dimana-mana. Malah-malah melebihi sampah yang
berserakan di TPA.”
Aku : “Dasar manusia yang ada disini
sangat sombong. Membuang
sampah
seenaknya.” (kesal dan wajah menggerutu)
...... : “Lantas harus bagaimana lagi?
Membuang sampah
sembarangan
adalah makanan mereka setiap harinya.”
Aku : “Seharusna makanan itu mereka
ubah. Dengan cara apapun.
Seharusnya
mereka tidak membiarkan negerinya menjadi tong sampah terbesar dunia. Itu harus
di ingat.”
...... : “Itu sangat benar. Mereka
bukanlah binatang. Tapi, jika di
nasehati
saja, telinga mereka itu hanyalah hiasan belaha untuk menggantung pakaian saat
dijemur. Kamu tau sendiri bukan?”
Aku : “Ya. Aku tahu. Maka agar tidak
seperti binatang, kita sendiri
juga
harus beradap.” (dengan nada yang agak
mengeras)
Akhirnya
mereka pun selesai dalam menikmati tempat wisatanya itu, dan segera bergegas
menuju tempat rekreasi yang selanjutnya.
Canda tawa riang mereka selalu menghiasi perjalanannya yang tidak mereka rasa
melelahkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar